BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
1042
tahun (hitungan Masehi) lalu di salah satu sudut Kota Kairo berdiri sebuah
mesjid atas inisiasi panglima Jauhar Ash-Shiqilli. Tepatnya pada Tanggal 29
Jumada Al-Ula 359 H (970 M). Pada 7 Ramadhan 361 H dilangsungkan shalat
Jum’at untuk pertama kali di mesjid tersebut. Pada itu juga awal dimulainya
pengajaran Islam oleh Qadhil Qudhah Abul Hasan Ali bin Nu’man Al-Qairawani
dengan mengajarkan Fiqh madzhab Syi’ah dari kitab Mukhtashar. Sejak saat itu,
dan hingga kini, mesjid tersebut tak pernah lelah membidani kelahiran para
ulama dan cendekiawan muslim. Mesjid itulah sebagai cikal bakal Universitas
Al-Azhar Mesir, dan perguruan tinggi Islam tertua di dunia.
Tegaknya
Al-Azhar yang bermula dari sebuah mesjid tak pernah lepas dari peran penting
dinasti Fathimiyah yang kala itu dipimpin oleh Khalifah Mu’iz li Dinillah Ma’ad
bin Al-Manshur (319-365 H. / 931-975 M.), khalifah keempat dari dinasti
Fathimiyah. Pada saat dibangun masjid ini dinamakan Jami’ Al-Qahirah (meniru
nama ibukota) berbentuk satu bangunan yang terbuka di tengahnya, (meniru
arsitektur Masjid Al-Haram), di dalamnya ada 3 ruwaq (ruangan khusus yang
dipergunakan untuk kegiatan belajar atapun penampungan pelajar), yang paling
besar adalah Ruwaq Al-Qiblah. Waktu itu luasnya hanya setengah luas yang ada
sekarang.
Masih
di masa khalifah Al-’Aziz billah, sekeliling Jami’ Al-Qahirah dibangun beberapa
istana yang disebut Al-Qushur Az-Zahirah. Istana-istana ini sebagian
besar berada di sebelah timur (kini sebelah barat mesjid Husein), sedangkan
beberapa sisanya di sebelah barat (dekat mesjid Al-Azhar sekarang). kedua
istana dipisahkan oleh sebuah taman nan indah. Keseluruhan daerah ini dikenal
dengan sebutan “Madinatul Fathimiyyin Al-Mulukiyyah”. Karena kondisi
sekitarnya yang indah bercahaya ini, orang pun menyebutnya Jami’
Al-Qahirah dengan sebutan baru, Jami’ Al-Azhar (berasal dari kata Zahra’
artinya: yang bersinar, bercahaya, berkilauan, namun ada yang mengatakan
diambil dari nama Putri Rasulullah Fathimah zahra).
B.
Rumusan Masalah
Dari
latar belakang permasalahan
di atas maka kami merumuskan masalah sebagai berikut :
1.
Bagaimana Tahap-tahap perkembangan Al azhar ?
2.
Bagaimana Historis
Dan Faktor Modrenisasi Al-Azhar?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Fase Peralihan
Seiring gelombang pasang surut sejarah, berbagai bentuk pemerintahan
silih berganti memainkan peranannya di lembaga tertua ini. Sebagai mesjid dan
institusi pendidikan, proses penyebaran ilmu pertama kali diwarnai oleh paham Syi’ah
yang dilakukan dinasti Fathimiyah. Khususnya di penghujung masa khalifah
Al-Mu’iz li Dinillah ketika Qadhil Qudhah Abul Hasan Ali bin Nu’man
Al-Qairawani mengajarkan fiqh mazhab Syi’ah dari kitab Mukhtashar yang
merupakan pelajaran pertama di mesjid Al-Azhar pada bulan Shafar 365 Hijriah (Oktober
975 M.).
Sesudah itu proses belajar terus berlanjut dengan penekanan utama pada
ilmu-ilmu agama dan bahasa. Namun juga tidak mengurangi perhatian
terhadap ilmu manthiq, filsafat, kedokteran, dan ilmu falak sebagai tambahan
yang diikut sertakan.
Lalu, semenjak Shalahuddin Al-Ayyubi memegang pemerintahan Mesir (tahun
567 H. / 1171 M.), Al-Azhar diistirahatkan hampir satu abad lamanya dan
dibentuk lembaga pendidikan alternatif berupa madrasah-madrasah kecil disekitar
Al-Azhar guna mengikis pengaruh Syi’ah. Di sinilah mulai dimasukkan perubahan
orientasi besar-besaran dari mazhab Syi’ah ke mazhab Sunni yang berlaku hingga
sekarang. Meski tak dipungkiri, paham Syi’ah dari sudut akademis masih tetap
dipelajari.
Ketika Raja Az-Zhahir Bibris berkuasa, pada Dinasti Mamluky, Al-Azhar
diadakan perbaikan dan perluasan Al-Azhar. Ia memberikan dorongan untuk dibuka
lagi kegiatan belajar mengajar di sana. Sehingga pada tahun 665 H / 1266-1267
M, khutbah di Masjid Al-Azhar diperbolehkan kembali. Langkahnya tersebut mendapatkan
sambutan dari semua pihak. Para Penguasa setelahnya mengikuti langkahnya dalam
menghidupkan dan memakmurkan Al-Azhar. Alhamdulillah, cahaya Al-Azhar yang
telah padam itu lambat laun mulai bersinar kembali.
B. Fase
Pembaharuan
Pembaharuan administrasi
pertama Al-Azhar dimulai pada masa pemerintahan Sultan Ad-Dhahir Barquq (784 H.
/ 1382 M.) dari dinasti Mamalik. Ketika ia mengangkat Amir Bahadir At-Thawasyi
sebagai direktur pertama Al-Azhar tahun 784 H. / 1382 M. Upaya ini merupakan
usaha awal untuk menjadikan Al-Azhar sebagai yayasan keagamaan yang mengikuti
pemerintah.
Sistem ini terus
berjalan hingga pemerintahan Usmani menguasai Mesir di penghujung abad 11 H.
Ditandai dengan pengangkatan “Syaikh Al-‘Umumy” yang digelar dengan Syaikh
Al-Azhar sebagai figur sentral yang mengatur berbagai keperluan
pendidikan, pengajaran, keuangan, fatwa hukum, termasuk tempat mengadukan
segala persoalan. Pada fase ini terpilih Syaikh Muhammad Al-Khurasyi (1010 –
1101 H.) sebagai Syaikh Al-Azhar pertama. Secara keseluruhan ada 44 Syaikh yang
telah memimpin Al-Azhar selama 49 periode, dan kini dipegang oleh Syaikh Ahmad
Thayyeb.
Masa keemasan Al-Azhar
terjadi pada abad 9 H. (15 M.). Banyak ilmuwan dan ulama Islam bermunculan di
Al-Azhar saat itu, seperti Ibnu Khaldun, Al-Farisi, As-Suyuthi, Al-’Aini,
Al-Khawi, Abdul Latif Al-Baghdadi, Ibnu Khalqan, Al-Maqrizi dan lainnya yang
telah mewariskan banyak ensiklopedi Arab.
Iklim kemunduran kembali
hadir ketika dinasti Usmani berkuasa di Mesir (1517 – 1798 M.). Al-Azhar mulai kurang
berfungsi disertai kepulangan para ulama dan mahasiswa yang berangsur-angsur
meninggalkan Kairo. Meski begitu, tambahan berbagai bangunan tetap diupayakan
atas prakarsa amir-amir Usmani dan kaum Muslimin sedunia.
Kepemimpinan Muhammad
Ali Pasha di Mesir pada tahap selanjutnya telah membentuk sistem pendidikan
yang paralel tapi terpisah, yaitu pendidikan tradisional dan pendidikan modern.
Ia juga berusaha menciutkan peranan Al-Azhar sebagai lembaga yang berpengaruh
sepanjang sejarah, antara lain dengan menguasai Badan Wakaf Al-Azhar yang
merupakan urat nadinya. Seterusnya, pada masa pemerintahan Khediv Ismail Pasha
(1863 – 1879 M.) mulailah usaha reorganisasi pendidikan, dan dari sini
pendidikan tradisional mulai bersaing dengan pendidikan modern. Serangan
terhadap pendidikan tradisional sering tampak dari usaha yang menginginkan
perbaikan Al-Azhar sebagai pusat pendidikan Islam terpenting. Sejak awal abad
19, sistem pendidikan Barat mulai diterapkan di sekolah-sekolah Mesir.
Sementara Al-Azhar masih saja menggunakan sistem tradisional. Dari sini muncul
suara pembaharuan.
Di antara pembaharuan
yang menonjol adalah dicantumkannya sistem ujian untuk mendapatkan Ijazah
Al-’Alimiyah (kesarjanaan) Al-Azhar pada Februari 1872. Juga pada
tahun 1896, buat pertama kali dibentuk Idarah Al-Azhar (Dewan
Administrasi). Usaha pertama dari dewan ini adalah mengeluarkan peraturan yang
membagi masa belajar di Al-Azhar menjadi dua periode: Pendidikan dasar 8 tahun
serta pendidikan menengah dan tinggi 12 tahun. Kurikulum Al-Azhar ikut
diklasifikasikan dalam dua kelas: Al-’Ulum Al-Manqulah (bidang studi
agama) dan Al-’Ulum Al-Ma’qulah (studi umum).
Kalau bicara pembaharuan
di Al-Azhar, kita jangan lupa dengan Muhammad ‘Abduh (1849 – 1905). Ia
mengusulkan perbaikan sistem pendidikan Al-Azhar dengan memasukkan ilmu-ilmu
modern ke dalam kurikulumnya. Gagasan tersebut mulanya kurang disepakati oleh
Syaikh Muhammad Al-Anbabi. Baru ketika Syaikh An-Nawawi
memimpin Al-Azhar, ide Muhammad ‘Abduh bisa berpengaruh. Berangsur-angsur mulai
diadakan pengaturan masa libur dan masa belajar. Uraian pelajaran yang
berulang-ulang, atau yang dikenal dengan syarah Al-Hawasyi pun disederhanakan.
Sementara itu kurikulum modern seperti fisika, ilmu pasti, filsafat,
sosiologi dan sejarah, telah menerobos Al-Azhar. Bersamaan dengan ini pula
direnovasi ruwaq Al-Azhar sebagai pemondokan bagi guru dan mahasiswa.
C.
Proses Historis Dan Faktor Yang Menjadi Sasaran
Modrenisasi Al-Azhar
Al-Mu’iz Dinillah, pemimpin Dinasti
Fathimiyah adalah orang yang paling berjasa dalam membangun gagasan pendirian
Masjid al-Azhar sebagai pusat pemerintahan dan penyebaran faham Syi’ah
Ismailiyah. Al-Azhar dalam perkembangannya, bukan saja sebagai tempat untuk
mendalami ilmu agama atau penampungan bagi orang-orang miskin, bahkan al-Azhar
juga merupakan tempat pemersatu umat dalam perjuangan membebaskan Mesir dari
penjajahan Negara Perancis.
Keistimewaan al-Azhar, tidak hanya
piawai dalam melahirkan ulama-ulama yang berkualitas, akan tetapi ia juga
membangun peradaban dunia melalui dua cara, yaitu dengan kepribadian yangn
dimiliki oleh al-Azhar sendiri, dan melalui lulusan-lulusannya yang membawa
perubahan terhadap masyarakat dunia. Al- Azhar dalam perjalanannya sebagai
lembaga pusat pendidikan keagamaan terus mengalami pasang-surut dalam
perkembangannya, pembaharuan demi pembaharuan terus dilakukan, adapun tokoh
pembaharuan serta ide yang mereka tawarkan dan lakukan, beberapa di antaranya :
1.
Muhammad Ali
yang merupakan penguasa Mesir dengan dukungan penuh dari para ulama al-Azhar.
Adapun reformasi yang dilakukan Muhammad Ali antara lain :
a. Setiap
pelajar yang akan memasuki al-Azhar harus mendaftar dan mengikuti ujian
seleksi.
b. Setiap tingkatan memiliki kurikulum dan system yang
jelas.
c. Mendirikan
sejumlah kelas untuk pendidikan umum, seperti kedokteran dan teknik.
d. Mengirim pelajar untuk belajar ke Eropa dan setelah
lulus mengabdikan diri untuk mengembangkan ilmu di al-Azhar.
e. Adanya dewan tinggi dalam rangka memaksimalkan
kualitas pendidikan di al-Azhar.
f. Memberikan ijazah kepada lulusan al-Azhar.
Muhammad Ali melakukan pembaharuan terhadap al-Azhar, dengan dua cara, yaitu :
a.
Jangka pendek, yaitu memegang kendali
kebijakan al-Azhar.
Meskipun al-Azhar dipimpin oleh Grand Syaikh dan dikoordinasikan dengan Dewan Tinggi al-Azhar, tetapi dalam penunjukan Grand Syaikh, Muhammad Ali memegang otoritas tertinggi.
Meskipun al-Azhar dipimpin oleh Grand Syaikh dan dikoordinasikan dengan Dewan Tinggi al-Azhar, tetapi dalam penunjukan Grand Syaikh, Muhammad Ali memegang otoritas tertinggi.
b.
Jangka Panjang,
Muhammad Ali menggalakkan pengiriman para ulama ke Perancis untuk belajar, hal
ini dimaksudkan agar para ulama dapat mensintesiskan antara kultur pendidikan
al-Azhar dan pendidikan Barat.
2.
Ismail cucu dari
Muhammad Ali. Ia memberikan kebebasan kepada kalangan Katolik dan Protestan
untuk mengembangkan pendidikan, kemudian mendirikan Dar Ulum tahun 1872 M,
dengan tujuan melatih para guru dan hakim. Tahun 1873 M, tenaga guru mencapai
314 dan jumlah pelajar 9.441 orang. Jumlah pelajar terus mengalami peningkatan
sampai 10.780 orang dengan rincian 5.651 orang berafiliasi mazhab Syafi’i,
3.826 orang berafiliasi mazhab Maliki,1.278 berafiliasi mazhab hanafi, dan 25
orang berafiliasi mazhab Hambali. Jumlah ini terdapat pada tahun 1876 M.
Sejak tahun 1872,
al-Azhar telah memperhitungkan kualitas dan kelayakan bagi guru ingin mengajar
di al-Azhar, dengan memberikan sertifikasi bagi mereka yang lulus fit and
proper test, dan berhak untuk mengajar di al-Azhar.
3.
Kemudian Abbas
Ilmi pada tahun 1892 membangun kelas khusus dilantai bawah untuk ruangan ujian,
menata kembali perpustakaan,dan membangun rumah sakit di al-Azhar.
4.
Muhammad Abduh,
ia adalah Grand Mufti Mesir. Ia menyampaikan lima proposal reformasi di dalam
al-Azhar, yaitu :
a. Mengubah sistem halaqoh menuju system kelas yang
terjadual
b. Melaksanakan ujian yang rutin dalam rangka mengukur
kemampuan akademis setiap pelajar.
c. Menggunakan buku-buku primer yang ditulis para ulama
yang mempunyai otoritas dalam bidangnya, daripada buku-buku sekunder yang
ditulis sebagian guru.
d. Memperkaya kurikulum dengan materi-materi baru,
bahkan hal-hal yang tidak ada dalam khazanah keilmuan al-Azhar.
e.
Sentralisasi perpustakaan.
Kerjasama yang dilakukan oleh Muhammad Abduh sebagai Grand Mufti dan Syaikh Hassunah al-Nawawi sebagai Grand Syaikh al-Azhar, mempunyai dampak yang sangat besar terhadap reformasi al-Azhar.
Suwito (2008) :
Membahas tentang reformasi pendidikan di al-Azhar, Muhammad Abduh adalah salah
satu tokoh reformis yang lahir pada tahun 1849 M di Mahallat Nasr sebuah desa
di Mesir. Di antara pemikirannya yang berkaitan dengan reformasi system
pendidikan di al-Azhar adalah :
1.
Ia menentang
pengkafiran terhadap segala sesuatu yang berbeda dengan kebiasaan. Seperti
membaca buku geografi, ilmu alam, atau filsafat adalah haram, memakai sepatu
adalah bid’ah.
2.
Materi pelajaran
yang diberikan al-Azhar tidak hanya terbatas kepada ilmu-ilmu agama an sich,
tetapi juga memperkenalkan sekaligus mengajarkan filsafat, sejarah dan
peradaban Eropa, teologi, serta logika.
3.
Ia tidak setuju dengan metode pengajaran di
al-Azhar yang lebih menekankan kepada aspek penghafalan, tetapi ia lebih
menekankan kepada mahasiswa untuk dididik berfikir.
4.
Kemudian pada
tahun 1895 M, dibentuk satu lembaga yang diberi nama Majlis al-Iradah atau
Dewan Administratif. Dewan ini terdiri dari Grand Syaikh al-Azhar, empat ulama
representative dari empat mazhab fiqh dan dua orang dari pemerintah. Dewan ini
melakukan pembaharuan di antaranya :
a.
Standarisasi
pelajar yang dapat menimba ilmu di al-Azhar ;
Keharusan menghafal 15 juz Al-Qur’an pada pelajar yang berusia 15 tahun.
Keharusan menghafal 15 juz Al-Qur’an pada pelajar yang berusia 15 tahun.
b.
Perubahankurikulum;
1)
Al-Maqashid :
Materi inti dari pendidikan keagamaan
Seperti : Aqidah, Akhlak, Fiqh, Ushul Fiqh, Hadits dan Tafsir
Seperti : Aqidah, Akhlak, Fiqh, Ushul Fiqh, Hadits dan Tafsir
2)
Al-Wasail :
Materi yang penting untuk dipelajari oleh pelajar,
Seperti : Bahasa Arab dan Ilmu Hadits.
Seperti : Bahasa Arab dan Ilmu Hadits.
Selama tahun 1888, banyak orang yang mengiginkan agar materi modern masuk ke dalam kurikulum, terkhusus adanya permintaan agar rektor al-Azhar memberikan keputusan hukum tentang masalah tersebut. setelah berkonsultasi dengan Mufti dan para pakar lain ia menyatakan bahwa, " Suatu tindakan yang benar untuk mengajarkan ilmu matematika seperti aritmatika dan geometri, serta geografi, karena ilmu ini tidak bertentangan dengan kebenaran, karena merupakan pengetahuan yang diperlukan “ al-Ghazali berpendapat bahwa ilmu pada aspek tertentu dari astronomi dan astrology tidak boleh dipelajari. Sedangkan mempelajari ilmu-ilmu alam diperbolehkan, dengan dasar hukum (syari'ah), tetapi dilarang jika didekati dari sudut pandang metafisika, Alchemy dilarang, tetapi eksperimen kimia yang diizinkan, asalkan tidak bertentangan dengan doktrin Islam.
Menurut Khafagi ada tiga sosok penting dalam menjeput era baru di al-Azhar, terutama dalam rangka menjaga keseimbangan antara modernisasi, reformasi, dan kemerdekaan politik. Pertama Rifa’ah Tahtawi. Ia adalah sosok ulama modern yang berjasa dalam pengembangan bahasa dan sastra di al-Azhar ….
Kedua, Abdullah bin al-Nadim dan Ahmad Urabi. Al-Nadim seseorang yang menggalang kekuatan di kalangan Budayawan untuk mengobarkan api revolusi dan reformasi. Untuk mencapai misinya, ia mendirikan sebuah lembaga yang sangat popular, yaitu Jam’iyyah al-Kahiriyyah al-Islamiyah. Sedangkan Urabi adalah seorang agitator yang dapat membakar spirit orang-orang Mesir untuk menyalakan api revolusi. Bahkan, al-Azhar turut serta dalam revolusi yang dipimpin oleh Urabi, yang kemudian dikenal dengan revolusi Urabi.
Ketiga,
Muhammad Abduh, Ia dikenal sebagai salah satu murid Jamaluddin al-Afghani, yang
melanjutkan pemikiran progesif dan menuju modernisasi yang sesungguhnya. Ia
menggabungkan antara kekuatan aktivitasme dan intelektualisme. Sebuah gerakan
reformasi yang hampir dikatakan sempurna. Setelah beberapa tahun kemudian,
muncullah ide untuk menjadikan al-Azhar sebagai universitas, tetapi inisiatif
ini ditolak pemerintah dengan mendirikan universitas tandingan pada tahun 1908
yang diberi nama Universitas Kairo, ada anggapan bahwa sikap pemerintah ini
adalah untuk meminimalisir peran sosial al-Azhar. Namun hal ini tidak
mengurangi kepribadiaan al-Azhar sebagai pusat pendidikan keagamaan, bahkan
perannya secara nasional, regional, dan internasional semakin meningkat.
Sidi
Gazalba mengatakan;… Setelah sepuluh abad perkembangan madrasah, tahun 1911 ia
diresmikan sebagai Universitas Agama.“… Al Azhar telah dibagi menjadi dua
jurusan, jurusan umum yang meneruskan cara lama dan jurusan khusus yang terdiri
dari ilmu kalam, hukum dan bahasa Arab: dan tiap-tiap fakultas mempunyai
beberapa sekolah rendah dan menengah. Pada jurusan khusus mahasiswa dikuliahi
pelajaran-pelajaran modern dengan rencana pelajaran-pelajaran yang terakhir,
diberi ujian-ujian tahun; diwajibkan spesialisasi dengan mengajukan desertasi
serta diberi gelar akademi…“
Al-Azhar
diakui secara internasional adalah lembaga pendidikan yang mencetak para ulama
yang memiliki karakter yaitu kritisme, dan ulama yang selalu merujuk pada
sumber primer yaitu Al-Qur’an dan Hadits. Abad 9 H/15 M adalah masa keemasan
bagi al-Azhar, karena pada saat itu banyak ilmuan yang muncul, seperti : Ibnu
Khaldun, Al-Farisi, Al-Suyuthi, Al-Maqrizi, dan lainnya. Kemudian banyak juga
ulama kontemporer yang merupakan lulusan al-Azhar, antara lain : Muhammad
Abduh, Jamaluddin al-Afghani, Yusuf Qardhawi, Quraish Shihab.
Misrawi Zuhairi; menyatakan :
Misrawi Zuhairi; menyatakan :
Dalam hal ini, terdapat
dua kelompok ulama yang berjasa besar dalam menjaga eksistensi al-Azhar sebagai
benteng peradaban Sunni. Pertama, para ulama yang dipilih sebagai Grand Syaikh
al-Azhar. Mereka mempunyai jasa besar, karena di tangan merekalah segala urusan
yang berkaitan dengan al-Azhar dikendalikan untuk kemaslahatan umat.
Kedua, para ulama yang
menghabiskan waktu untuk mengajar dan menelurkan pemikiran –pemikiran keagamaan
cemerlang di al-Azhar. Dedikasi dan karya mereka ditulis dengan tinta emas
sebagai sebuah pembuktian. Bahwa al-Azhar telah memberikan ruang yang
seluas-luasnya untuk berkarya untuk tumbuhnya pemikiran keagamaan yang membawa
harapan tentang kemajuan dan kebangkitan. Kedua kelompok ulama tersebut telah
menjadikan al-Azhar sebagai lembaga pendidikan yang mempunyai kedudukan penting
di hati umat Islam. Dalam usianya yang lebih dari 1.000 tahun, al-Azhar telah
membuktikan dirinya sebagai salah satu model pendidikan yang patut diacungkan
jempol dengan catatan ulama yang telah lahir dari rahim al-Azhar.
Hal senada juga di
aminin oleh Bayard Dodge yang mengatakan; “In conclusion Dr. al-Bahay says that
“The readjustment of al-azhar consists in bearing in mind the accomplishment of
a mission, which is the understanding of Islam and making it know more
perfectly"."It ia an individual mission, which no other educational
institution can undertake “ ." Islam in the future will have a strong or
weak influence, as al-azhar is strong or weak. " . Kesimpulannya adalah
Dr. al-Bahay mengatakan “ al-Azhar berdiri dengan komitmen membawa misi yang
kuat, menanamkan pemahaman keislaman dan pengetahuan yang sempurna. “ Ini
adalah misi yang besar dan belum ada lembaga lain yang dapat melakukannya. “ .“
Kuat atau lemahnya masa depan Islam akan berpengaruh terhadap al-Azhar.
Hasan Asari memberi pendapat :
“ Posisi penting ulama
Mesir berkaitan dengan keberadaan Al-Azhar. Lembaga keagamaan yang didukung
oleh system waqf yang sangat besar ini bertahan sejak zaman klasik Islam dan
telah menjadi bagian dari identitas Mesir. Meski setelah penaklukannya di awal
abad ke – 16, kerajaan Ustmani melikuidasi sebagian besar waqf lembaga
keagamaanMesir, Al-Azhar merupakan pengecualian yang bahkan mendapat dukungan
dari penguasa tersebut. Lembaga ini berfungsi sebagai pusat revitalisasi
pendidikan islam (khususnya dalam kajian hadits dan tasawuf), di samping
memberi peluang pertukaran informasi antar berbagai penjuru dunia Islam.
Keberadaannya mengundang kehadiran sejumlah ulama besar yang sekaligus menjadi
dasar kosmopolitanisme kegiatan ilmiah muslim. Sejumlah ulama terkenal didaerah
lain, semacam India atau Indonesia mempunyai hubungan erat denga para ulama Al-Azhar
di Kairo.
Hubungan antara ulama
dan penguasa Mesir mengalami pasang surut, sesuai dengan besarnya kekuasaan
yang mereka miliki. Ulama cenderung memiliki kekuatan dan prestise yang tinggi
bila pemerintah pusat lemah dan tidak mampu mengendalikan rakyat secara
efektif. Kekuranggannya kendali politik memberi kesempatan bagi ulama untuk
berkolaborasi dengan penguasa, dan dengan demikian dapat mengumpulkan kekuasaan
dan kekayaan. Namun demikian sebagai pengayom umat Islam, ulama akan menentang
penguasa yang tiran terhadap rakyat. Sebaliknya, dibawah penguasa yang kuat,
yang pemerintahannya ditandai dengan pemerintahan pusat yang efektif, otoritas
ulama cenderung kehilangan kekuatannya
BAB III
KESIMPULAN
Al-Azhar diakui secara internasional adalah lembaga
pendidikan yang mencetak para ulama yang memiliki karakter yaitu kritisme, dan
ulama yang selalu merujuk pada sumber primer yaitu Al-Qur’an dan Hadits
Al-Azhar adalah lembaga yang mampu
melestarikan warisan dan budaya Islam. Telah berabad- abad lamanya Al- azhar
menekuni keilmuan islam dan telah melahirkan tokoh-tokh ulama pembesar dunia.
Sistem pembelajaran di Al-Azhar mencerminkan wajah Islam yang sebenarnya,
dengan berbagai bentuk pemikiran dan juga mengikuti kurikulum yang telah
berhasil mencegah Al-Azhar terjerumus dalam sempitnya pemikiran tunggal dan
tidak berafiliasi dengan pemikiran Islam yang salah.
Keistimewaan al-Azhar, tidak hanya piawai dalam
melahirkan ulama-ulama yang berkualitas, akan tetapi ia juga membangun
peradaban dunia melalui dua cara, yaitu dengan kepribadian yangn dimiliki oleh
al-Azhar sendiri, dan melalui lulusan-lulusannya yang membawa perubahan
terhadap masyarakat dunia