Selamat Datang

Senin, 30 November 2020

KISAH INSPIRATIF MALU, TATA KRAMA

 

TATA KRAMA

 

Suatu pagi, terlihat seorang wanita berpenampilan menarik berusia 40-an membawa anaknya memasuki area perkantoran sebuah perusahaan terkenal. Karena masih sepi, mereka pun duduk di taman samping gedung untuk sarapan sambil menikmari hamparan hijau nan asri.

Selesai makan, dengan santai si wanita membuang sembarangan tisu bekas pakai. Tidak jauh dari situ, ada seorang kakek tua berpakaian sederhana memegang gunting untuk memotong ranting. Dengan diam, kakek itu menghampiri, memungut sampah tisu dan membuangnya ke tempat sampah.

Beberapa waktu kemudian, kembali wanita itu membuang bekas makanan tanpa rasa sungkan. Kakek itu pun dengan sabar memungut dan membuangnya ke tempat sampah.

Sambil menunjuk ke arah sang kakek, si wanita itu lantang berkata ke anaknya,”Nak, kamu lihat kan, jika tidak sekolah dengan benar, nanti masa depan kamu cuma seperti kakek itu. Kerjanya mungutin dan buang sampah! Kotor, kasar, dan rendah seperti dia. Jelas, ya?”

Si kakek meletakkan gunting dan menyapa ke wanita itu, “Permisi, ini adalah taman pribadi, bagaimana Anda bisa masuk ke sini?”

Wanita itu dengan sombong menjawab, “Aku adalah calon manager yang dipanggil oleh perusahaan ini.”

Di waktu yang bersamaan, seorang pria dengan sikap sopan dan hormat menghampiri sambil berkata,”Pak Presdir, mau mengingatkan saja, rapat sebentar lagi akan segera dimulai.”

Sang kakek mengangguk. Lalu sambil mengarahkan matanya ke wanita di situ, dia berkata tegas, “Manager, tolong untuk wanita ini, saya usulkan tidak cocok untuk mengisi posisi apa pun di perusahaan ini.” Sambil melirik ke arah si wanita, si manager menjawab cepat, “Baik Pak Presdir, kami segera atur sesuai perintah Bapak.”

Setelah itu, sambil berjongkok, sang kakek mengulurkan tangan membelai kepala si anak yang dari tadi memperhatikannya. “Nak, di dunia ini, yang penting adalah belajar untuk menghormati setiap orang, siapa pun dia, entah direktur atau tukang sampah dan menghargai hasil kerja mereka. Ngerti, ya?”

Si wanita terbelalak dangan wajah nyaris merah padam karena malu. Ternyata presiden direktur perusahaan yang sangat terkenal itu begitu rendah hati dan santun. Tetapi sayang, dia telah memperlakukan dengan hina layaknya tukang sampah hanya karena penampilan luarnya yang sederhana. Dengan tertunduk lesu, dia harus menerima keputusan Presdir perusahaan itu, karena kesalahannya sendiri. 

Netter yang berbahagia,

Menghargai orang janganlah dilihat dari penampilan luar atau tinggi rendahnya posisi seseorang. Pribadi unggul bukan karena kepintaran matematis tetapi lebih karena kemampuan berkomunikasi dengan menjujung tinggi etika moral dalam bergaul dengan siapa saja. Karena sejatinya, menghargai orang lain adalah juga menghargai diri kita sendiri, cerminan bahwa siapa diri kita sesungguhnya.


 

TATA KRAMA

 

Alkisah, ketika Ibrahim Khawwas masih muda, ia ingin mengikuti seorang guru. Iapun mencari salah satu Orang Bijak dan memohon agar diperbolehkan menjadi pengikutnya.
Sang Bijak berkata. “Kau belum siap.”

Ibrahim Khawwas pantang menyerah. Karena anak muda itu bersikeras, guru itu berkata, “Baiklah, aku akan mengajarimu sesuatu. Aku akan berziarah ke Mekkah. Kau ikut.”
Ibrahim Khawwas sangat gembira pengabdiannya diterima.
“Nah, anak muda, karena kita mengadakan perjalanan berdua, salah seorang harus menjadi pemimpin. Kau pilih menjadi apa?” kata Sang Guru.

“Saya mengikuti saja. Guru yang memimpin,” kata Ibrahim tanpa pikir panjang.
“Tentu saja aku akan memimpin perjalanan ini asal kau tahu bagaimana cara menjadi pengikut yang baik,” kata Sang Guru.

Perjalanan keduanya dimulai. Suatu malam, ketika mereka beristirahat di padang pasir Hejaz, hujan turun. Sang guru bangkit; memegangi kain penutup, melindungi muridnya dari basah kuyup.
“Seharusnya sayalah yang melakukan itu untuk Guru,” kata Ibrahim.
“Kuperintahkan agar kau memperbolehkan aku melindungimu. Bukankah tugas pengikut adalah mematuhi perintah gurunya?” kata Sang Guru.

Siang harinya, Ibrahim Khawwas, setelah merenungkan kejadian semalam, berkata, “Sekarang sudah tiba hari yang baru. Sekarang perkenankan saya menjadi pemimpin, dan Guru mengikuti perintah saya.” 
Sang guru menyanggupi hal tersebut.
“Baiklah. Saya akan mengumpulkan kayu untuk membuat api,” kata Ibrahim.

“Kau tak boleh melakukan itu. Aku yang akan melakukannya,” kata Sang Guru
“Saya memerintahkan Guru duduk saja sementara saya mengumpulkan kayu!” kata Ibrahim agak sengit.
“Kau tak boleh melakukan hal itu,” kata Sang Guru, “sebab hal itu tidak sesuai dengan syarat menjadi murid.  Pengikut tidak boleh membiarkan dirinya dilayani oleh pemimpinnya.”

Sepanjang perjalanan, Ibrahim Khawwas benar-benar “dipermalukan”. Setiap saat, Sang Guru menunjukkan kepadanya apa makna sebenarnya menjadi murid melalui pengalaman langsung.
Akhirnya, Ibrahim Khawas dan Sang Guru berpisah di gerbang Mekkah. Ketika itu Ibrahim hanya bisa menunduk, tak berani menatap matanya.
“Yang kaupelajari itu adalah sesuatu yang berkaitan dengan apa yang kau sebut murid dan pengabdian,” kata Sang Guru.

 

HIKMAH DI BALIK KISAH SIKAP-SIKAP MURID

 


Ibrahim Khawwas adalah seorang sufi yang mumpuni di kemudian hari. Tujuannya mengisahkan kejadian ini adalah untuk menyadarkan konsep kepatuhan seorang murid terhadap gurunya. Selama ini, kita terbiasa berpikir bahwa orang-orang tertentu pasti tidak mungkin melakukan kesalahan atau cara terbaik untuk menjadi murid yang baik dalam tarekat sufi adalah patuh buta kepada guru. Artinya, apa pun yang diperintahkan sang guru, sang murid wajib melaksanakan tanpa banyak pertanyaan karena itulah yang biasa terjadi. Padahal, sebenarnya guru tidak bermaksud adanya “penyembahan” seperti itu. Seorang guru dalam tarekat sufi hanyalah pengantar muridnya untuk mengenal Allah. 

Yang dilatih oleh Sang Guru kepada Ibrahim Khawwas bukanlah masalah kepatuhan buta. Sang Guru sedang mengajarkan prinsip bahwa di mata Allah, tidak ada yang lebih unggul daripada manusia lain selain orang-orang yang bertakwa. Salah satu bukti ketakwaan seorang hamba adalah berbuat kepada sesama tanpa mengenal pamrih atau batasan hierarkis buatan manusia dalam jenis apa pun seperti tindakan Sang Guru yang melindungi Ibrahim Khawwas dari hujan atau mengumpulkan kayu bakar demi dirinya. 

Sang Guru juga menyadarkan Ibrahim Khawwas, kalau hanya bepikir masalah kepatuhan buta, artinya seorang sufi sama dengan kebanyakan manusia yang menyanjung seseorang yang terlihat bertakwa atau mencela seseorang yang terlihat “menghina Tuhan”. Husain bin Manshur Al-Hallaj secara ekstrim mengatakan, “Dalam agama Tuhan aku telah menjadi kafir. Tetapi, bagiku kekafiran ini adalah kewajiban sekalipun bagi Muslim ia menjijikkan”.

Al-Hallaj tidak benar-benar kafir. Ia hanya menyindir orang-orang yang sebenarnya memuji seorang ulama berlebihan atau mengira orang yang memiliki karomah adalah orang sakti yang dicintai Allah, lalu mulai mencari-cari cara agar bisa menjadi orang yang seperti ulama atau orang sakti tersebut. Padahal, tanpa mencintai sesama, kemampuan tersebut tidak akan datang. Bahkan, orang yang hanya mencari kemampuan-kemampuan sekunder (mukjizat) selamanya akan terselubung dari Allah.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

KISAH INSPIRATIF MALU

 

 

Wahai sobat-sobatku semua! Melalui tulisan ini saya paparkan sebuah kisah inspiratif yang mungkin bisa kita ambil faedahnya.

          Setiap orang mempunyai biografi atau masa lalu yang berbeda-beda.Salah satunya adalah kisah laki-laki yang dahulunya seorang yang pemalu,pendiam,sulit bisa bergaul,canggung.tidak PD(percaya diri) bila bertemu dengan orang lain,apalagi bila berbicara atau bercakap-cakap dengan orang lain meskipun dengan saudara family dan tetangga sekitar,dia sama sekali tidak ada kemampuan untuk itu semua.bahkan sampai lulus dari bangku SMK dia masih mempunyai sifat ataupun karakter tersebut.

          Setelah lulus dari SMK dia tidak bisa melanjutkan pendidikannya karena terbentur biaya,akhirnya dia memutuskan untuk menjadi TKI di Malaysia.Dan kurang lebih 3 tahun dia di sana ternyata juga masih mempunyai sifat pemalu,canggung di depan orang dan lain-lain.Akhirnya sepulang dari merantau diapun menikah.dan sudah menikahpun masih sama tetap kurang PD dan yang lain.

         Setalah mempunyai anak pertama dia sudah mulai berfikir bagaimana dia bisa menghilangkan atau setidaknya mengurangi sifat pemalu,canggung grogi dan lain-lain.Dengan niat dan tekat yang bulat dia mulai belajar tips-tips mengurangi canggung atau grogi di depan umum.Akhirnya dengan berjalannya waktu dan kurang lebih 10 tahun terlewati,dengan semakin banyak belajar dan dari pengalaman dan lika-liku kehidupan,ternyata hal tersebut telah mengubah sifat dan karakter laki-laki tersebut.

        Yang dahulunya seorang laki-laki yang pendiam berubah menjadi seorang periang.Yang dahulunya kurang PD berubah menjadi seorang laki-laki percaya diri,bahkan saat ini dia sudah tidak canggung maupun takut  atau grogi lagi berbicara di depan umum.Bahkan juga sekarang ini dia kalau di suruh kutbah atau bicara di depan orang banyak tanpa persiapan pun di sanggupi tanpa ada rasa malu atau canggung lagi.

Inilah kisah inspiratif seorang lelaki yang pemalu dan penakut bisa menjadi seorang laki-laki yang PD dan pemberani berbicara di depan publik.

       Dengan demikian dari kisah ini bisa di ambil kesimpulan bahwa :

"Sifat dan karakter seseorang bisa berubah dengan adanya Niat,Belajar dan Pengalaman"

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

KISAH INSPIRATIF SOPAN SANTUN

 

Seorang pensiunan guru berjalan menuju kasir di K-Mart, supermarket yang lumayan terkenal di kota itu. Kaki kirinya terasa sakit, ia berharap tidak lupa untuk meminum semua pilnya tadi pagi. Satu pil untuk tekanan darah tinggi,  satu pil untuk pusing-pusing, dan satu pil lagi untuk penyakit rematiknya yang kadang kambuh.

“Syukurlah aku telah pensiun beberapa tahun lalu” katanya kepada diri sendiri. “Masihkah aku kuat mengajar anak-anak sekarang ?”

Begitu tiba di depan antrian kasir yang penuh, ia melihat seorang lelaki dengan empat orang anak beserta istrinya yang hamil. Mantan guru itu tidak dapat melepaskan pandangannya dari tato di leher orang itu. “Pasti ia pernah dipenjara”, pikirnya.

Ia terus memperhatikan penampilan pria itu. Dari cara pria itu berpakaian, mantan guru itu berkesimpulan bahwa ia adalah seorang anggota geng. Mata pensiunan tua itu tambah terperanjat ketika melihat kalung yang dikenakannya, bertuliskan “Parlson” – pasti ini adalah nama orang itu. Parlson dikenal sebagai kepala geng di daerah itu, tidak ada satupun orang yang berani padanya. Ia dikenal sebagai orang yang tidak ramah.

Sewaktu Parlson datang ke rombongan antrian, spontan orang-orang menyediakan tempat kepada dia untuk antri terlebih dulu. Setelah Parlson hampir tiba di antrian terdepan, matanya tertuju pada mantan guru itu.

“Silahkan Anda lebih dulu” mantan guru itu berkata.

“Tidak, Anda yang harus lebih dulu..” balas lelaki itu.

“Tidak, anda membawa istri dan banyak anak, anda harus antri lebih dulu” kata mantan guru itu kepada Parlson.

“Kami sangat menghormati orang tua..” tegas lelaki itu. Dan bersamaan dengan itu, dengan gerak tangannya yang sangat sopan, ia menyilahkan wanita tua itu untuk mengambil tempat didepannya.

Seulas senyum tergurat pada bibirnya ketika sang mantan guru lewat di depan lelaki itu. Tetapi sebagai seorang yang berjiwa guru, ia tidak dapat melewatkan kejadian istimewa ini begitu saja. Mantan guru itu lalu berpaling ke belakang.

“Anda sopan sekali.. terima kasih, siapa yang mengajarkan ini kepada Anda ?”

Dengan sikap yang sangat hormat, lelaki itu berkata, “Tentu saja Anda, Ibu Simpson, sewaktu saya masih kelas tiga dulu.”

Lelaki itu kemudian mengambil sikap menunduk dengan hormat – lalu pergi menuju antrian yang paling belakang.

Saleh & Malu

 

Beruntung, saya pernah mengenal tiga orang saleh. Ketiganya tinggal di daerah yang berbeda, sikap dan pandangan agamis mereka berbeda, dan jenis kesalehan mereka pun berbeda.

Saleh pertama di Klender, orang Betawi campuran Arab. Ia saleh, semata karena namanya. Orang menyukainya karena ia aktif siskamling meskipun bukan pada malam-malam gilirannya.

Saleh kedua, Haji Saleh Habib Farisi, orang Jawa. Agak aneh memang, Habib Farisi sebuah nama Jawa. Tapi ia saleh dalam arti sebenarnya. Minimal kata para anggota jamaah masjid kampung itu.Jenggotnya panjang. 

Pici putihnya tak pernah lepas. Begitu juga sarung palekat abu-abu itu. Tutur katanya lembut. Ia cekatan memberi senyum kepada orang lain. Alasannya: "senyum itu sedekah". Kepada anak kecil, ia sayang. Hobinya mengusap kepala bocah-bocah yang selalu berisik pada saat salat jamaah berlangsung. Usapan itu dimaksudkan agar anak-anak tak lagi bikin gaduh. Tapi bocah tetap bocah. Biar seribu kali kepala diusap, ribut tetap jalan. Seolah mereka khusus dilahirkan buat bikin ribut di masjid.

"Ramai itu baik saja," katanya sabar, (ketika orang-orang lain pada marah), "karena ramai tanda kehidupan," katanya lagi. 
"Lagi pula, kita harus bisa salat khusyuk dalam keramaian itu."

Mungkin ia benar. Buktinya ia betah berjam-jam zikir di masjid. Sering salatnya sambung-menyambung tanpa terputus kegiatan lain. Selesai magrib, ia tetap berzikir sambil kepalanya terangguk-angguk hingga isya tiba.

Jauh malam, ketika semua orang masih lelap dalam mimpi masing-masing, ia sudah mulai salat malam. Kemudian zikir panjang sampai subuh tiba.

Selesai subuh, ia zikir lagi, mengulang-ulang asmaul husna dan beberapa ayat pilihan sampai terbit matahari, ketika salat duha kemudian ia lakukan. Pendeknya, ia penghuni masjid.

Tidurnya cuma sedikit. Sehabis isya, ia tidur sekitar dua jam. Kemudian, selesai salat duha, tidur lagi satu jam. Selebihnya zikir, zikir, zikir.... 

Pas betul dengan nama-nama yang disandangnya. Dasar sudah saleh, plus Habib (nama sufi besar), ditambah Farisi (salah seorang sahabat Nabi).

Kalau biasanya kita sulit menemui pejabat karena banyak acara, maka kita sulit menemui orang Jawa ini karena ibadahnya di masjid begitu padat.
Para tetangga menaruh hormat padanya. Banyak pula yang menjadikannya semacam idola. 
Namun, ia pun punya kekurangan. Ada dua macam cacat utamanya.
Pertama, kalau dalam salat jamaah tak ditunjuk jadi imam, ia tersinggung. 
Kedua, kalau orang tak sering "sowan" ke rumahnya, ia tidak suka.... karena ia menganggap orang itu telah mengingkari eksistensinya sebagai orang yang ada di "depan".
"Apakah ia dengan demikian aktif di masjid karena ingin menjadi tokoh?" 
Hanya Tuhan dan ia yang tahu.
Pernah saya berdialog dengannya, setelah begitu gigih menanti zikirnya yang panjang itu selesai. Saya katakan bahwa kelak bila punya waktu banyak, saya ingin selalu zikir di masjid seperti dia. Saya tahu, kalau sudah pensiun, saya akan punya waktu macam itu.

"Ya kalau sempat pensiun," komentarnya.
"Maksud Pak Haji?"
"Memangnya kita tahu berapa panjang usia kita? Memangnya kita tahu kita bakal mencapai usia pensiun?"
"Ya, ya. Benar, Pak Haji," saya merasa terpojok
"Untuk mendapat sedikit bagian dunia, kita rela menghabiskan seluruh waktu kita. Mengapa kita keberatan menggunakan beberapa jam sehari buat hidup kekal abadi di surga?"
"Benar, Pak Haji. Orang memang sibuk mengejar dunia."
"Itulah. Cari neraka saja mereka. Maka, tak bosan-bosan saya ulang nasihat bahwa orang harus salat sebelum disalatkan."
Mungkin tak ada yang salah dalam sikap Pak Haji Saleh. Tapi kalau saya takut, sebabnya kira-kira karena ia terlalu menggarisbawahi "ancaman".

Saya membandingkannya dengan orang saleh ketiga. Ia juga haji, pedagang kecil, petani kecil, dan imam di sebuah masjid kecil. Namanya bukan Saleh melainkan Sanip.
Haji Sanip, orang Betawi asli.

Meskipun ibadahnya (di masjid) tak seperti Haji Saleh, kita bisa merasakan kehangatan imannya. Waktu saya tanya, mengapa salatnya sebentar, dan doanya begitu pendek, cuma melulu istighfar (mohon ampun), ia bilang bahwa ia tak ingin minta aneh-aneh.

Ia malu kepada Allah.

"Bukankah Allah sendiri menyuruh kita meminta dan bukankah Ia berjanji akan mengabulkannya?"

"Itu betul. Tapi minta atau tidak, kondisi kita sudah dengan sendirinya memalukan. Kita ini cuma sekeping jiwa telanjang, dari hari ke hari nyadong berkah-Nya, tanpa pernah memberi. Allah memang Maha Pemberi, termasuk memberi kita rasa malu. Kalau rezeki-Nya kita makan, mengapa rasa malu-Nya tak kita gunakan?" katanya lagi.

Bergetar saya. Untuk pertama kalinya saya merasa malu.............................. sebenar-benarnya malu.

Seribu malaikat, nabi-nabi, para wali, dan orang-orang suci.... langsung dibawah komando Allah - seperti serentak mengamini ucapan orang Betawi ini.

"Perhatikan di masjid-masjid, jamaah yang minta kepada Allah kekayaan, tambahan rezeki, naik gaji, naik pangkat. Mereka pikir Allah itu kepala bagian kepegawaian di kantor kita. 
Allah kita puji-puji karena akan kita mintai sesuatu. Ini bukan ibadah, tapi dagang. 
Mungkin bahkan pemerasan yang tak tahu malu. Allah kita sembah, lalu kita perah rezeki dan berkah-Nya, bukannya kita sembah karena kita memang harus menyembah..... seperti tekad Al Adawiah itu," katanya lagi.

Napas saya sesak. Saya tatap wajah orang ini baik-baik. Selain keluhuran batin, di wajah yang mulai menampakkan tanda ketuaan itu...... terpancar ketulusan iman. 

Kepada saya, Kong Haji itu jadinya menyodorkan sebuah cermin. Tampak di sana, wajah saya retak-retak. Saya malu melihat diri sendiri. Betapa banyak saya telah meminta selama ini, tapi betapa sedikit saya memberi. Mental korup dalam ibadah itu, ternyata, bagian hangat dari hidup pribadi saya juga.