TATA
KRAMA
Suatu pagi, terlihat seorang wanita berpenampilan menarik
berusia 40-an membawa anaknya memasuki area perkantoran sebuah perusahaan
terkenal. Karena masih sepi, mereka pun duduk di taman samping gedung untuk
sarapan sambil menikmari hamparan hijau nan asri.
Selesai makan, dengan santai si wanita membuang
sembarangan tisu bekas pakai. Tidak jauh dari situ, ada seorang kakek tua
berpakaian sederhana memegang gunting untuk memotong ranting. Dengan diam,
kakek itu menghampiri, memungut sampah tisu dan membuangnya ke tempat sampah.
Beberapa waktu kemudian, kembali wanita itu
membuang bekas makanan tanpa rasa sungkan. Kakek itu pun dengan sabar memungut
dan membuangnya ke tempat sampah.
Sambil menunjuk ke arah sang kakek, si wanita
itu lantang berkata ke anaknya,”Nak, kamu lihat kan, jika tidak sekolah dengan
benar, nanti masa depan kamu cuma seperti kakek itu. Kerjanya mungutin dan
buang sampah! Kotor, kasar, dan rendah seperti dia. Jelas, ya?”
Si kakek meletakkan gunting dan menyapa ke
wanita itu, “Permisi, ini adalah taman pribadi, bagaimana Anda bisa masuk ke
sini?”
Wanita itu dengan sombong menjawab, “Aku adalah
calon manager yang dipanggil oleh perusahaan ini.”
Di waktu yang bersamaan, seorang pria dengan
sikap sopan dan hormat menghampiri sambil berkata,”Pak Presdir, mau
mengingatkan saja, rapat sebentar lagi akan segera dimulai.”
Sang kakek mengangguk. Lalu sambil mengarahkan
matanya ke wanita di situ, dia berkata tegas, “Manager, tolong untuk wanita
ini, saya usulkan tidak cocok untuk mengisi posisi apa pun di perusahaan ini.”
Sambil melirik ke arah si wanita, si manager menjawab cepat, “Baik Pak Presdir,
kami segera atur sesuai perintah Bapak.”
Setelah itu, sambil berjongkok, sang kakek
mengulurkan tangan membelai kepala si anak yang dari tadi memperhatikannya.
“Nak, di dunia ini, yang penting adalah belajar untuk menghormati setiap orang,
siapa pun dia, entah direktur atau tukang sampah dan menghargai hasil kerja
mereka. Ngerti, ya?”
Si wanita terbelalak dangan wajah nyaris merah
padam karena malu. Ternyata presiden direktur perusahaan yang sangat terkenal
itu begitu rendah hati dan santun. Tetapi sayang, dia telah memperlakukan
dengan hina layaknya tukang sampah hanya karena penampilan luarnya yang
sederhana. Dengan tertunduk lesu, dia harus menerima keputusan Presdir
perusahaan itu, karena kesalahannya sendiri.
Netter
yang berbahagia,
Menghargai orang janganlah dilihat dari
penampilan luar atau tinggi rendahnya posisi seseorang. Pribadi unggul bukan
karena kepintaran matematis tetapi lebih karena kemampuan berkomunikasi dengan
menjujung tinggi etika moral dalam bergaul dengan siapa saja. Karena sejatinya,
menghargai orang lain adalah juga menghargai diri kita sendiri, cerminan bahwa
siapa diri kita sesungguhnya.
TATA KRAMA
Alkisah, ketika Ibrahim Khawwas masih muda, ia ingin
mengikuti seorang guru. Iapun mencari salah satu Orang Bijak dan memohon agar
diperbolehkan menjadi pengikutnya.
Sang Bijak berkata. “Kau belum siap.”
Ibrahim Khawwas pantang menyerah. Karena anak
muda itu bersikeras, guru itu berkata, “Baiklah, aku akan mengajarimu sesuatu.
Aku akan berziarah ke Mekkah. Kau ikut.”
Ibrahim Khawwas sangat gembira pengabdiannya
diterima.
“Nah, anak muda, karena kita mengadakan
perjalanan berdua, salah seorang harus menjadi pemimpin. Kau pilih menjadi
apa?” kata Sang Guru.
“Saya mengikuti saja. Guru yang memimpin,” kata
Ibrahim tanpa pikir panjang.
“Tentu saja aku akan memimpin perjalanan ini
asal kau tahu bagaimana cara menjadi pengikut yang baik,” kata Sang Guru.
Perjalanan keduanya dimulai. Suatu malam, ketika
mereka beristirahat di padang pasir Hejaz, hujan turun. Sang guru bangkit;
memegangi kain penutup, melindungi muridnya dari basah kuyup.
“Seharusnya sayalah yang melakukan itu untuk
Guru,” kata Ibrahim.
“Kuperintahkan agar kau memperbolehkan aku
melindungimu. Bukankah tugas pengikut adalah mematuhi perintah gurunya?” kata
Sang Guru.
Siang harinya, Ibrahim Khawwas, setelah
merenungkan kejadian semalam, berkata, “Sekarang sudah tiba hari yang baru.
Sekarang perkenankan saya menjadi pemimpin, dan Guru mengikuti perintah saya.”
Sang guru menyanggupi hal tersebut.
“Baiklah. Saya akan mengumpulkan kayu untuk
membuat api,” kata Ibrahim.
“Kau tak boleh melakukan itu. Aku yang akan
melakukannya,” kata Sang Guru
“Saya memerintahkan Guru duduk saja sementara
saya mengumpulkan kayu!” kata Ibrahim agak sengit.
“Kau tak boleh melakukan hal itu,” kata Sang
Guru, “sebab hal itu tidak sesuai dengan syarat menjadi murid. Pengikut
tidak boleh membiarkan dirinya dilayani oleh pemimpinnya.”
Sepanjang perjalanan, Ibrahim Khawwas
benar-benar “dipermalukan”. Setiap saat, Sang Guru menunjukkan kepadanya apa
makna sebenarnya menjadi murid melalui pengalaman langsung.
Akhirnya, Ibrahim Khawas dan Sang Guru berpisah
di gerbang Mekkah. Ketika itu Ibrahim hanya bisa menunduk, tak berani menatap
matanya.
“Yang kaupelajari itu adalah sesuatu yang
berkaitan dengan apa yang kau sebut murid dan pengabdian,” kata Sang Guru.
HIKMAH DI
BALIK KISAH SIKAP-SIKAP MURID
Ibrahim Khawwas adalah seorang sufi yang mumpuni
di kemudian hari. Tujuannya mengisahkan kejadian ini adalah untuk menyadarkan
konsep kepatuhan seorang murid terhadap gurunya. Selama ini, kita terbiasa
berpikir bahwa orang-orang tertentu pasti tidak mungkin melakukan kesalahan
atau cara terbaik untuk menjadi murid yang baik dalam tarekat sufi adalah patuh
buta kepada guru. Artinya, apa pun yang diperintahkan sang guru, sang murid
wajib melaksanakan tanpa banyak pertanyaan karena itulah yang biasa terjadi.
Padahal, sebenarnya guru tidak bermaksud adanya “penyembahan” seperti itu.
Seorang guru dalam tarekat sufi hanyalah pengantar muridnya untuk mengenal
Allah.
Yang dilatih oleh Sang Guru kepada Ibrahim
Khawwas bukanlah masalah kepatuhan buta. Sang Guru sedang mengajarkan prinsip
bahwa di mata Allah, tidak ada yang lebih unggul daripada manusia lain selain
orang-orang yang bertakwa. Salah satu bukti ketakwaan seorang hamba adalah
berbuat kepada sesama tanpa mengenal pamrih atau batasan hierarkis buatan
manusia dalam jenis apa pun seperti tindakan Sang Guru yang melindungi Ibrahim
Khawwas dari hujan atau mengumpulkan kayu bakar demi dirinya.
Sang Guru juga menyadarkan Ibrahim Khawwas,
kalau hanya bepikir masalah kepatuhan buta, artinya seorang sufi sama dengan
kebanyakan manusia yang menyanjung seseorang yang terlihat bertakwa atau
mencela seseorang yang terlihat “menghina Tuhan”. Husain bin Manshur Al-Hallaj
secara ekstrim mengatakan, “Dalam agama Tuhan aku telah menjadi kafir. Tetapi,
bagiku kekafiran ini adalah kewajiban sekalipun bagi Muslim ia menjijikkan”.
Al-Hallaj tidak benar-benar kafir. Ia hanya
menyindir orang-orang yang sebenarnya memuji seorang ulama berlebihan atau
mengira orang yang memiliki karomah adalah orang sakti yang dicintai Allah,
lalu mulai mencari-cari cara agar bisa menjadi orang yang seperti ulama atau
orang sakti tersebut. Padahal, tanpa mencintai sesama, kemampuan tersebut tidak
akan datang. Bahkan, orang yang hanya mencari kemampuan-kemampuan sekunder
(mukjizat) selamanya akan terselubung dari Allah.
KISAH INSPIRATIF MALU
Wahai sobat-sobatku semua! Melalui tulisan ini saya paparkan
sebuah kisah inspiratif yang mungkin bisa kita ambil faedahnya.
Setiap orang
mempunyai biografi atau masa lalu yang berbeda-beda.Salah satunya adalah kisah
laki-laki yang dahulunya seorang yang pemalu,pendiam,sulit bisa
bergaul,canggung.tidak PD(percaya diri) bila bertemu dengan orang lain,apalagi
bila berbicara atau bercakap-cakap dengan orang lain meskipun dengan saudara
family dan tetangga sekitar,dia sama sekali tidak ada kemampuan untuk itu
semua.bahkan sampai lulus dari bangku SMK dia masih mempunyai sifat ataupun
karakter tersebut.
Setelah lulus
dari SMK dia tidak bisa melanjutkan pendidikannya karena terbentur
biaya,akhirnya dia memutuskan untuk menjadi TKI di Malaysia.Dan kurang lebih 3
tahun dia di sana ternyata juga masih mempunyai sifat pemalu,canggung di depan
orang dan lain-lain.Akhirnya sepulang dari merantau diapun menikah.dan sudah
menikahpun masih sama tetap kurang PD dan yang lain.
Setalah
mempunyai anak pertama dia sudah mulai berfikir bagaimana dia bisa
menghilangkan atau setidaknya mengurangi sifat pemalu,canggung grogi dan
lain-lain.Dengan niat dan tekat yang bulat dia mulai belajar tips-tips
mengurangi canggung atau grogi di depan umum.Akhirnya dengan berjalannya waktu
dan kurang lebih 10 tahun terlewati,dengan semakin banyak belajar dan dari
pengalaman dan lika-liku kehidupan,ternyata hal tersebut telah mengubah sifat
dan karakter laki-laki tersebut.
Yang dahulunya
seorang laki-laki yang pendiam berubah menjadi seorang periang.Yang dahulunya
kurang PD berubah menjadi seorang laki-laki percaya diri,bahkan saat ini dia
sudah tidak canggung maupun takut atau
grogi lagi berbicara di depan umum.Bahkan juga sekarang ini dia kalau di suruh
kutbah atau bicara di depan orang banyak tanpa persiapan pun di sanggupi tanpa
ada rasa malu atau canggung lagi.
Inilah kisah inspiratif seorang lelaki yang pemalu dan
penakut bisa menjadi seorang laki-laki yang PD dan pemberani berbicara di depan
publik.
Dengan demikian
dari kisah ini bisa di ambil kesimpulan bahwa :
"Sifat dan karakter seseorang bisa berubah dengan adanya
Niat,Belajar dan Pengalaman"
KISAH INSPIRATIF SOPAN SANTUN
Seorang pensiunan guru
berjalan menuju kasir di K-Mart, supermarket yang lumayan terkenal di kota itu.
Kaki kirinya terasa sakit, ia berharap tidak lupa untuk meminum semua pilnya
tadi pagi. Satu pil untuk tekanan darah tinggi, satu pil untuk
pusing-pusing, dan satu pil lagi untuk penyakit rematiknya yang kadang kambuh.
“Syukurlah aku telah
pensiun beberapa tahun lalu” katanya kepada diri sendiri. “Masihkah aku kuat
mengajar anak-anak sekarang ?”
Begitu tiba di depan
antrian kasir yang penuh, ia melihat seorang lelaki dengan empat orang anak
beserta istrinya yang hamil. Mantan guru itu tidak dapat melepaskan
pandangannya dari tato di leher orang itu. “Pasti ia pernah dipenjara”,
pikirnya.
Ia terus memperhatikan
penampilan pria itu. Dari cara pria itu berpakaian, mantan guru itu
berkesimpulan bahwa ia adalah seorang anggota geng. Mata pensiunan tua itu
tambah terperanjat ketika melihat kalung yang dikenakannya, bertuliskan
“Parlson” – pasti ini adalah nama orang itu. Parlson dikenal sebagai kepala
geng di daerah itu, tidak ada satupun orang yang berani padanya. Ia dikenal
sebagai orang yang tidak ramah.
Sewaktu Parlson datang ke
rombongan antrian, spontan orang-orang menyediakan tempat kepada dia untuk
antri terlebih dulu. Setelah Parlson hampir tiba di antrian terdepan, matanya
tertuju pada mantan guru itu.
“Silahkan Anda lebih
dulu” mantan guru itu berkata.
“Tidak, Anda yang harus
lebih dulu..” balas lelaki itu.
“Tidak, anda membawa
istri dan banyak anak, anda harus antri lebih dulu” kata mantan guru itu kepada
Parlson.
“Kami sangat menghormati
orang tua..” tegas lelaki itu. Dan bersamaan dengan itu, dengan gerak tangannya
yang sangat sopan, ia menyilahkan wanita tua itu untuk mengambil tempat
didepannya.
Seulas senyum tergurat
pada bibirnya ketika sang mantan guru lewat di depan lelaki itu. Tetapi sebagai
seorang yang berjiwa guru, ia tidak dapat melewatkan kejadian istimewa ini
begitu saja. Mantan guru itu lalu berpaling ke belakang.
“Anda sopan sekali..
terima kasih, siapa yang mengajarkan ini kepada Anda ?”
Dengan sikap yang sangat
hormat, lelaki itu berkata, “Tentu saja Anda, Ibu Simpson, sewaktu saya masih
kelas tiga dulu.”
Lelaki itu kemudian
mengambil sikap menunduk dengan hormat – lalu pergi menuju antrian yang paling
belakang.
Saleh
& Malu
Beruntung, saya pernah mengenal tiga orang saleh. Ketiganya
tinggal di daerah yang berbeda, sikap dan pandangan agamis mereka berbeda, dan
jenis kesalehan mereka pun berbeda.
Saleh pertama di Klender, orang Betawi campuran
Arab. Ia saleh, semata karena namanya. Orang menyukainya karena ia aktif
siskamling meskipun bukan pada malam-malam gilirannya.
Saleh kedua, Haji Saleh Habib Farisi, orang Jawa. Agak
aneh memang, Habib Farisi sebuah nama Jawa. Tapi ia saleh dalam arti
sebenarnya. Minimal kata para anggota jamaah masjid kampung itu.Jenggotnya
panjang.
Pici putihnya tak pernah lepas. Begitu juga sarung palekat
abu-abu itu. Tutur katanya lembut. Ia cekatan memberi senyum kepada orang lain.
Alasannya: "senyum itu sedekah". Kepada anak kecil, ia sayang.
Hobinya mengusap kepala bocah-bocah yang selalu berisik pada saat salat jamaah
berlangsung. Usapan itu dimaksudkan agar anak-anak tak lagi bikin gaduh. Tapi
bocah tetap bocah. Biar seribu kali kepala diusap, ribut tetap jalan. Seolah
mereka khusus dilahirkan buat bikin ribut di masjid.
"Ramai itu baik saja," katanya sabar, (ketika
orang-orang lain pada marah), "karena ramai tanda kehidupan," katanya
lagi.
"Lagi pula, kita harus bisa salat khusyuk dalam
keramaian itu."
Mungkin ia benar. Buktinya ia betah berjam-jam zikir di
masjid. Sering salatnya sambung-menyambung tanpa terputus kegiatan lain.
Selesai magrib, ia tetap berzikir sambil kepalanya terangguk-angguk hingga isya
tiba.
Jauh malam, ketika semua orang masih lelap dalam mimpi
masing-masing, ia sudah mulai salat malam. Kemudian zikir panjang sampai subuh
tiba.
Selesai subuh, ia zikir lagi, mengulang-ulang asmaul husna
dan beberapa ayat pilihan sampai terbit matahari, ketika salat duha kemudian ia
lakukan. Pendeknya, ia penghuni masjid.
Tidurnya cuma sedikit. Sehabis isya, ia tidur sekitar dua
jam. Kemudian, selesai salat duha, tidur lagi satu jam. Selebihnya zikir,
zikir, zikir....
Pas betul dengan nama-nama yang disandangnya. Dasar sudah
saleh, plus Habib (nama sufi besar), ditambah Farisi (salah seorang sahabat
Nabi).
Kalau biasanya kita sulit menemui pejabat karena banyak
acara, maka kita sulit menemui orang Jawa ini karena ibadahnya di masjid begitu
padat.
Para tetangga menaruh hormat padanya. Banyak pula yang
menjadikannya semacam idola.
Namun, ia pun punya kekurangan. Ada dua macam cacat
utamanya.
Pertama, kalau dalam salat jamaah tak ditunjuk jadi imam, ia
tersinggung.
Kedua, kalau orang tak sering "sowan" ke
rumahnya, ia tidak suka.... karena ia menganggap orang itu telah mengingkari
eksistensinya sebagai orang yang ada di "depan".
"Apakah ia dengan demikian aktif di masjid karena
ingin menjadi tokoh?"
Hanya Tuhan dan ia yang tahu.
Pernah saya berdialog dengannya, setelah begitu gigih
menanti zikirnya yang panjang itu selesai. Saya katakan bahwa kelak bila punya
waktu banyak, saya ingin selalu zikir di masjid seperti dia. Saya tahu, kalau
sudah pensiun, saya akan punya waktu macam itu.
"Ya kalau sempat pensiun," komentarnya.
"Maksud Pak Haji?"
"Memangnya kita tahu berapa panjang usia kita?
Memangnya kita tahu kita bakal mencapai usia pensiun?"
"Ya, ya. Benar, Pak Haji," saya merasa terpojok
"Untuk mendapat sedikit bagian dunia, kita rela
menghabiskan seluruh waktu kita. Mengapa kita keberatan menggunakan beberapa
jam sehari buat hidup kekal abadi di surga?"
"Benar, Pak Haji. Orang memang sibuk mengejar
dunia."
"Itulah. Cari neraka saja mereka. Maka, tak bosan-bosan
saya ulang nasihat bahwa orang harus salat sebelum disalatkan."
Mungkin tak ada yang salah dalam sikap Pak Haji Saleh.
Tapi kalau saya takut, sebabnya kira-kira karena ia terlalu menggarisbawahi
"ancaman".
Saya membandingkannya dengan orang saleh ketiga. Ia juga
haji, pedagang kecil, petani kecil, dan imam di sebuah masjid kecil. Namanya
bukan Saleh melainkan Sanip.
Haji Sanip, orang Betawi asli.
Meskipun ibadahnya (di masjid) tak seperti Haji Saleh,
kita bisa merasakan kehangatan imannya. Waktu saya tanya, mengapa salatnya
sebentar, dan doanya begitu pendek, cuma melulu istighfar (mohon ampun), ia
bilang bahwa ia tak ingin minta aneh-aneh.
Ia malu kepada Allah.
"Bukankah Allah sendiri menyuruh kita meminta dan
bukankah Ia berjanji akan mengabulkannya?"
"Itu betul. Tapi minta atau tidak, kondisi kita sudah
dengan sendirinya memalukan. Kita ini cuma sekeping jiwa telanjang, dari hari
ke hari nyadong berkah-Nya, tanpa pernah memberi. Allah memang Maha Pemberi,
termasuk memberi kita rasa malu. Kalau rezeki-Nya kita makan, mengapa rasa
malu-Nya tak kita gunakan?" katanya lagi.
Bergetar saya. Untuk pertama kalinya saya merasa
malu.............................. sebenar-benarnya malu.
Seribu malaikat, nabi-nabi, para wali, dan orang-orang
suci.... langsung dibawah komando Allah - seperti serentak mengamini ucapan
orang Betawi ini.
"Perhatikan di masjid-masjid, jamaah yang minta
kepada Allah kekayaan, tambahan rezeki, naik gaji, naik pangkat. Mereka pikir
Allah itu kepala bagian kepegawaian di kantor kita.
Allah kita puji-puji karena akan kita mintai sesuatu. Ini
bukan ibadah, tapi dagang.
Mungkin bahkan pemerasan yang tak tahu malu. Allah kita
sembah, lalu kita perah rezeki dan berkah-Nya, bukannya kita sembah karena kita
memang harus menyembah..... seperti tekad Al Adawiah itu," katanya lagi.
Napas saya sesak. Saya tatap wajah orang ini baik-baik.
Selain keluhuran batin, di wajah yang mulai menampakkan tanda ketuaan itu......
terpancar ketulusan iman.
Kepada saya, Kong Haji itu jadinya menyodorkan sebuah
cermin. Tampak di sana, wajah saya retak-retak. Saya malu melihat diri sendiri.
Betapa banyak saya telah meminta selama ini, tapi betapa sedikit saya memberi.
Mental korup dalam ibadah itu, ternyata, bagian hangat dari hidup pribadi saya
juga.