BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Bulan
Muharram adalah salah satu dari empat bulan haram atau bulan yang dimuliakan
Allah. Empat bulan tersebut adalah bulan Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram dan
Rajab.
“Sesungguhnya
jumlah bulan di kitabullah (Al Quran) itu ada dua belas bulan sejak Allah
menciptakan langit dan bumi, empat di antaranya adalah bulan-bulan haram” (QS.
At Taubah: 36)
Kata
Muharram artinya “dilarang”. Sebelum datangnya ajaran Islam, bulan Muharram
sudah dikenal sebagai bulan suci dan dimuliakan oleh masyarakat Jahiliyah. Pada
bulan ini dilarang untuk melakukan hal-hal seperti peperangan dan bentuk
persengketaan lainnya.
Kemudian
ketika Islam datang kemuliaan bulan haram ditetapkan dan dipertahankan
sementara tradisi jahiliyah yang lain dihapuskan termasuk kesepakatan tidak
berperang.
Bulan
Muharram memiliki banyak keutamaan, sehingga bulan ini disebut bulan Allah
(Syahrullah). Beribadah pada bulan haram pahalanya dilipatgandakan dan
bermaksiat di bulan ini dosanya dilipatgandakan pula.
Muharram
adalah bulan pertama dalam hitungan kalender Islam, atau lebih terkenal dengan
"tahun Hijriah". Berbeda dengan tahun Masehi yang dihitung
berdasarkan perputaran Bumi terhadap Matahari, tahun Hijrian dihitung
berdasarkan perputaran Bulan terhadap Bumi. Satu bulan terdiri atas 29 atau 30
hari, dan satu tahun terdiri atas 12 bulan.
B.
Rumusan Makalah
§ Hikmah 1 Muharram?
§ Keutamaan bulan Muharram?
§ Sifat Bulan Muharram?
§ Amalan yang dianjurkan pada bulan
muharram?
C.
Tujuan
1. Memenuhi
tugas Sekolah
2. Menambah
referensi tentang bulan Muharram.
D.
Manfaat makalah
1.
Menambah wawasan kita tentang bulan Muharram
2.
Mengetahui lebih jauh tentang Agama Islam
BAB II
PEMBAHASAN
A. Penamaan
Bulan Ini
Kata
Muharram secara bahasa, berarti diharamkan. Abu ‘Amr ibn Al ‘Alaa berkata, “Dinamakan
bulan Muharram karena peperangan(jihad) diharamkan pada bulan tersebut”(1);
jika saja jihad yang disyariatkan lalu hukumnya menjadi terlarang pada bulan
tersebut maka hal ini bermakna perbuatan-perbuatan yang secara asal telah
dilarang oleh Allah Ta’ala memiliki penekanan pengharaman untuk lebih dihindari
secara khusus pada bulan ini. Pada bulan ini Allah melarang umatnya untuk tidak
melakukan perbuatan yang dilarang-Nya. Seperti misalnya berperang, seperti yang
telah dilakukan oleh orang-orang kuraisy sebelum datangnya agama Islam.
B. Beberapa
Keutamaan Bulan
Muharram
1.
Bulan Muharram Merupakan Salah Satu Diantara
Bulan-Bulan Haram
Allah Ta’ala
berfirman:
إِنَّ
عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ
خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ
الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِينَ
كَافَّةً كَمَا يُقَاتِلُونَكُمْ كَافَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ
الْمُتَّقِينَ
“Sesungguhnya
bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di
waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah
(ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam
bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana
merekapun memerangi kamu semuanya; dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta
orang-orang yang bertakwa.” (Q.S. at Taubah :36).
Pada
ayat ini menerangkan kepada kita bahwa setelah penciptaan langit dan bumi Allah
menciptakan bulan yang berjumlah 12 bulan yang mana bulan tersebut merupakan
bulan tahun Hijriah. Dalam bulan-bulan tersebut terdapat 4 bulan yang paling
istimewa diantara bulan yang lainnya, salah satunya adalah bulan Muharram. Pada
bulan Muharram Allah mengharamkan umat islam melakukan perbuatan yang dilarang,
(membunuh, berperang). Tetapi disana juga menjelaskan bahwa orang muslim harus
memerangi orang kafir yang selalu mengajak kepada kehancuran. Yang dilakukan
orang kafir, adalah bukan karena ingin merampas harta seperti yang dilakukan
sebelum datangnya islam, merebut kekuasaan, balas dendam seperti yang telah
dialami ketika umat islam mengusir orang kafir untuk meninggalkan Makkah dan
Madinah, tetapi mereka menginginkan agama Islam hancur.
Salah
seorang ahli tafsir dari kalangan tabi’in yang bernama Qatadah bin
Di’amah Sadusi rahimahulloh menyatakan, “Amal sholeh lebih besar pahalanya
jika dikerjakan di bulan-bulan haram sebagaimana kezholiman di bulan-bulan
haram lebih besar dosanya dibandingkan dengan kezholiman yang dikerjakan di
bulan-bulan lain meskipun secara umum kezholiman adalah dosa yang besar”(2).
Disinilah
yang menjadi pokok pada bulan Muharram, bahwa diharamkan umat-Nya melakukankan
berperang atau membunuh pada bulan-bulan istimewa tersebut, karena apabila
melanggarnya, maka dosanya akan dilipat gandakan dari bulan-bulan yang lain.
Dengan adanya larang tersebut berarti Allah juga akan memberikan pahala bagi
umat-Nya yang mengerjakan alaman seperti yang disunahkan.
Dalam
hadis yang diriwayatkan dari sahabat Abu Bakrah radhiyallohu anhu, Rasulullah
shallallohu ‘alaihi wasallam menjelaskan keempat bulan haram yang dimaksud :
إِنَّ الزَّمَانَ قَدْ اسْتَدَارَ
كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ اللَّهُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ السَّنَةُ
اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ثَلَاثٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو
الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِي بَيْنَ
جُمَادَى وَشَعْبَانَ
“Sesungguhnya
zaman itu berputar sebagaimana bentuknya semula di waktu Allah menciptakan langit
dan bumi. Setahun itu ada dua belas bulan diantaranya terdapat empat
bulan yang dihormati : 3 bulan berturut-turut; Dzulqa’dah, Dzulhijjah dan
Muharram serta satu bulan yang terpisah yaitu Rajab Mudhar, yang terdapat
diantara bulan Jumada Akhiroh dan Sya’ban.” [ HR. Bukhari (3197) dan
Muslim(1679) ]
Para
ulama bersepakat bahwa keempat bulan haram tersebut memiliki keutamaan
dibandingkan dengan bulan-bulan yang lain selain Ramadhan, namun demikian
mereka berbeda pendapat, bulan apakah yang paling afdhal diantara keempat bulan
haram yang ada ? Imam Hasan Al Bashri rahimahulloh dan beberapa ulama lainnya
berkata, “Sesungguhnya Allah telah memulai waktu yang setahun dengan
bulan haram (Muharram) lalu menutupnya juga dengan bulan haram (Dzulhijjah) dan
tidak ada bulan dalam setahun setelah bulan Ramadhan yang lebih agung di sisi
Allah melebihi bulan Muharram” (3).
2.
Bulan Muharram disifatkan sebagai Bulan Allah
Kedua
belas bulan yang ada adalah makhluk ciptaan Allah, akan tetapi bulan Muharram
meraih keistimewaan khusus karena hanya bulan inilah yang disebut sebagai
“syahrullah” (Bulan Allah). Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda :
أَفْضَلُ
الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ
الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلَاةُ اللَّيْلِ
“Puasa yang
paling utama setelah Ramadhan adalah puasa di bulan Allah (yaitu) Muharram.
Sedangkan shalat yang paling utama setelah shalat fardhu adalah shalat malam”.[
H.R. Muslim (11630) dari sahabat Abu Hurairah radhiyallohu anhu]
Hadits
ini mengindikasikan adanya keutamaan khusus yang dimiliki bulan Muharram karena
disandarkan kepada lafzhul Jalalah (lafazh Allah). Para Ulama telah menerangkan
bahwa ketika suatu makhluk disandarkan pada lafzhul Jalalah maka
itu mengindikasikasikan tasyrif (pemuliaan) terhadap makhluk
tersebut, sebagaimana istilah baitullah (rumah Allah) bagi mesjid atau
lebih khusus Ka’bah dan naqatullah (unta Allah) istilah bagi unta nabi
Sholeh ‘alaihis salam dan lain sebagainya.
Al
Hafizh Abul Fadhl Al ‘Iraqy rahimahulloh menjelaskan, “Apa hikmah dari penamaan
Muharram sebagai syahrulloh (bulan Allah) sementara seluruh bulan milik Allah ?
Mungkin dijawab bahwa hal itu dikarenakan bulan Muharram termasuk diantara
bulan-bulan haram yang Allah diharamkan padanya berperang, disamping itu bulan
Muharram adalah bulan perdana dalam setahun maka disandarkan padanya lafzhul
Jalalah (lafazh Allah) sebagai bentuk pengkhususan baginya dan tidak ada bulan
lain yang Nabi Muhammad shallallohu alaihi wasallam sandarkan kepadanya lafzhul
Jalalah melainkan bulan Muharram” (4)
As
Suyuthi mengatakan: Dinamakan syahrullah – sementara bulan yang lain tak
mendapat gelar ini – karena nama bulan ini “Al Muharram” nama nama islami.
Berbeda dgn bulan-bulan lainnya. Nama-nama bulan lainnya sudah ada di zaman
jahiliyah. Sementara dulu, orang jahiliyah menyebut bulan Muharram ini dgn nama
: Shafar Awwal. Kemudian ketika islam datanng, Allah ganti nama bulan ini dgn
Al Muharram, sehingga nama bulan ini Allah sandarkan kepada dirinya
(Syahrullah). (5)
Bulan
ini juga sering dinamakan: Syahrullah Al Asham (Bulan Allah yang Sunyi).
Dinamakan demikian, karena sangat terhormatnya bulan ini (6). karena
itu, tak boleh ada sedikitpun riak & konflik di bulan ini.
3.
Amalan Yang Dianjurkan di Bulan Muharram
Sebagaimana
telah disebutkan di atas dari perkataan Qatadah rahimahulloh bahwa amalan
sholeh dilipatgandakan pahalanya di bulan-bulan haram, dengan demikian secara
umum segala jenis kebaikan dianjurkan untuk diperbanyak dan ditingkatkan
kualitasnya di bulan Muharram. Adapun ibadah yang dianjurkan secara khusus pada
bulan ini adalah memperbanyak puasa sunnah sebagaimana yang telah
disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallohu ‘anhu,
beliau berkata Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda,
أَفْضَلُ
الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ
الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلَاةُ اللَّيْلِ
“Puasa yang
paling utama setelah Ramadhan adalah puasa di bulan Allah (yaitu)
Muharram dan shalat yang paling utama setelah puasa wajib adalah sholat lail”
[ HR. Muslim(11630) ]
Mulla
Al Qari’ menyebutkan bahwa hadits di atas sebagai dalil anjuran berpuasa di
seluruh hari bulan Muharram. Namun ada satu masalah yang kadang ditanyakan
berkaitan dengan hadits ini yaitu, ‘Bagaimana memadukan antara hadits ini
dengan hadits yang menyebutkan bahwa Nabi shallallohu alaihi wasallam
memperbanyak puasa di bulan Sya’ban yang menjadi bulannya Allah, bukan di bulan
Muharram? Imam Nawawi rahimahullah telah menjawab pertanyaan ini, beliau
mengatakan boleh jadi Rasulullah shallallohu alaihi wasallam belum
mengetahui keutamaan puasa Muharram kecuali di akhir hayat beliau atau mungkin
ada saja beberapa udzur yang menghalangi beliau untuk memperbanyak berpuasa di
bulan Muharram seperti beliau mengadakan safar atau sakit (7).
Kemudian
anjuran berpuasa di bulan Muharram ini lebih dikhususkan dan ditekankan
hukumnya pada hari yang dikenal dengan istilah Yaumul ‘Asyuro, yaitu
pada tanggal sepuluh bulan Muharram (‘asyuro). ‘Asyuro berasal dari kata
‘Asyarah yang berarti sepuluh. Pada hari ‘Asyuro ini, Rasulullah shallahu
alaihi wasallam mengajarkan kepada umatnya untuk melaksanakan satu bentuk
ibadah dan ketundukan kepada Allah Ta’ala yaitu ibadah puasa, yang kita kenal
dengan puasa Asyuro.
4.
Hadits-Hadits Disyariatkannya Puasa ‘Asyuro
Adapun
hadis-hadis yang menjadi dasar ibadah puasa tersebut banyak, kami akan sebutkan
diantaranya dengan pengklasifikasian sebagai berikut:
Kaum Yahudi juga
berpuasa di hari Asyuro bahkan menjadikannya sebagai Ied (hari raya)
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُمَا قَالَ قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
الْمَدِينَةَ فَرَأَى الْيَهُودَ تَصُومُ يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَقَالَ مَا هَذَا
قَالُوا هَذَا يَوْمٌ صَالِحٌ هَذَا يَوْمٌ نَجَّى اللَّهُ بَنِي
إِسْرَائِيلَ مِنْ عَدُوِّهِمْ فَصَامَهُ مُوسَى قَالَ فَأَنَا أَحَقُّ بِمُوسَى
مِنْكُمْ فَصَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ
Ibnu
Abbas radhiyallohu anhuma berkata : Ketika Rasulullah shallallohu alaihi
wasallam. tiba di Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa pada hari
‘ Asyura, maka Beliau bertanya : “Hari apa ini?. Mereka menjawab, “Ini adalah
hari istimewa, karena pada hari ini Allah menyelamatkan Bani Israil dari
musuhnya, Karena itu Nabi Musa berpuasa pada hari ini. Rasulullah shallallohu
alaihi wasallam pun bersabda, “Aku lebih berhak terhadap Musa
daripada kalian“. Maka beliau berpuasa dan memerintahkan shahabatnya untuk
berpuasa di tahun yang akan datang. [H.R. Bukhari (1865) dan Muslim(1910) ]
Hadis lain
menjelaskan:
عَنْ أَبِي مُوسَى رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ قَالَ كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ يَوْمًا تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ
وَتَتَّخِذُهُ عِيدًا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
صُومُوهُ أَنْتُمْ
Dari Abu Musa
radhiyallohu anhu berkata, “Hari ‘Asyuro adalah hari yang diagungkan oleh orang
Yahudi dan mereka menjadikannya sebagai hari raya, maka Rasulullah shallallohu
alaihi wasallam bersabda (kepada ummatnya), “Berpuasalah kalian (pada hari
itu)” [HR. Bukhari (1866) dan Muslim(1912), lafal hadits ini menurut
periwayatan imam Muslim)
Kaum Quraiys di
zaman Jahiliyah juga berpuasa Asyuro dan puasa ini diwajibkan atas kaum
muslimin sebelum kewajiban puasa Ramadhan
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهَا قَالَتْ كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ تَصُومُهُ قُرَيْشٌ فِي الْجَاهِلِيَّةِ
وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُهُ فَلَمَّا
قَدِمَ الْمَدِينَةَ صَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ فَلَمَّا فُرِضَ
رَمَضَانُ تَرَكَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَمَنْ شَاءَ صَامَهُ وَمَنْ شَاءَ تَرَكَهُ
. متفق عليه.
Dari Aisyah
radhiyallohu anha berkata, Kaum Qurays pada masa Jahiliyyah juga berpuasa di
hari ‘Asyuro dan Rasulullah shallallohu alaihi wasallam juga berpuasa pada hari
itu, ketika beliau telah tiba di Medinah maka beliau tetap mengerjakannya dan
memerintahkan ummatnya untuk berpuasa. Setelah puasa Ramadhan telah diwajibkan
beliau pun meninggalkan (kewajiban) puasa ‘Asyuro, seraya bersabda, “Barangsiapa
yang ingin berpuasa maka silakan tetap berpuasa dan barangsiapa yang tidak
ingin berpuasa maka tidak mengapa” [ HR. Bukhari (1863) dan Muslim(1897)
]
عن عَبْد اللَّهِ بْن عُمَرَ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ أَهْلَ الْجَاهِلِيَّةِ كَانُوا يَصُومُونَ يَوْمَ
عَاشُورَاءَ وَأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
صَامَهُ وَالْمُسْلِمُونَ قَبْلَ أَنْ يُفْتَرَضَ رَمَضَانُ فَلَمَّا افْتُرِضَ
رَمَضَانُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ
عَاشُورَاءَ يَوْمٌ مِنْ أَيَّامِ اللَّهِ فَمَنْ شَاءَ صَامَهُ وَمَنْ شَاءَ
تَرَكَهُ (رواه مسلم)
Dari Abdullah bin
Umar radhiyallohu anhuma bahwa kaum Jahiliyah dulu berpuasa Asyuro dan
Rasulullah shallallohu alaihi wasallam serta kaum muslimin juga berpuasa
sebelum diwajibkan puasa Ramadhan, Rasulullah shallallohu alaihi wasallam
bersabda, “Sesungguhnya hari ‘Asyuro termasuk hari-hari Allah, barangsiapa
ingin maka berpuasalah dan siapa yang ingin meninggalkan maka boleh” [
HR. Muslim(1901) ]
Perhatian Rasulullah
shallallohu alaihi wa sallam dan para sahabat ridwanullohi alaihim ajmain yang
begitu besar terhadap puasa ‘Asyuro
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُمَا قَالَ مَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَحَرَّى
صِيَامَ يَوْمٍ فَضَّلَهُ عَلَى غَيْرِهِ إِلَّا هَذَا الْيَوْمَ يَوْمَ
عَاشُورَاءَ وَهَذَا الشَّهْرَ يَعْنِي شَهْرَ رَمَضَانَ
“Aku tidak pernah
melihat Rasulullah shallallohu alaihi wasallam, berupaya keras untuk puasa
pada suatu hari melebihi yang lainnya kecuali pada hari ini, yaitu hari ‘Asyura
dan bulan ini yaitu Ramadhan.” [ H.R. Bukhari (1867) dan Muslim(1914) ]
عَنْ الرُّبَيِّعِ بِنْتِ مُعَوِّذِ
بْنِ عَفْرَاءَ قَالَتْ أَرْسَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ غَدَاةَ عَاشُورَاءَ إِلَى قُرَى الْأَنْصَارِ الَّتِي حَوْلَ
الْمَدِينَةِ مَنْ كَانَ أَصْبَحَ صَائِمًا فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ وَمَنْ كَانَ
أَصْبَحَ مُفْطِرًا فَلْيُتِمَّ بَقِيَّةَ يَوْمِهِ فَكُنَّا بَعْدَ ذَلِكَ
نَصُومُهُ وَنُصَوِّمُ صِبْيَانَنَا الصِّغَارَ مِنْهُمْ إِنْ شَاءَ اللَّهُ
وَنَذْهَبُ إِلَى الْمَسْجِدِ فَنَجْعَلُ لَهُمْ اللُّعْبَةَ مِنْ الْعِهْنِ
فَإِذَا بَكَى أَحَدُهُمْ عَلَى الطَّعَامِ أَعْطَيْنَاهَا إِيَّاهُ عِنْدَ
الْإِفْطَارِ
Dari Rubai’ bintu
Mu’awwidz bin ‘Afra’ radhiyallohu ‘anha berkata, Nabi Muhammad shallallohu
alaihi wasallam di pagi hari Asyuro mengutus ke perkampungan kaum Anshar yang
berada di sekitar Medinah (pesan), “Barangsiapa yang tidak berpuasa hari itu
hendaknya menyempurnakan sisa waktu di hari itu dengan berpuasa dan barangsiapa
yang berpuasa maka hendaknya melanjutkan puasanya”. Rubai’ berkata, “Maka
sejak itu kami berpuasa pada hari ‘Asyuro dan menyuruh anak-anak kami berpuasa
dan kami buatkan untuk mereka permainan yang terbuat dari kapas lalu jika salah
seorang dari mereka menangis karena ingin makan maka kami berikan
kepadanya permainan tersebut hingga masuk waktu berbuka puasa” [ HR. Bukhari
(1960) dan Muslim (1136), redaksi hadits ini menurut periwayatan Imam Muslim ]
5.
Keutamaan Puasa Asyuro
عَنْ أَبِي قَتَادَةَ رضي الله عنه
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ صِيَامُ يَوْمِ
عَاشُورَاءَ إِنِّي أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي
قَبْلَهُ
Dari Abu Qatadah
radhiyallohu anhu bahwa Nabi Muhammad shallallohu alaihi wasallam bersabda, “Puasa
hari ‘Asyuro aku berharap kepada Allah akan menghapuskan dosa tahun lalu” [
HR. Tirmidzi (753), Ibnu Majah (1738) dan Ahmad(22024). Hadits semakna
dengan ini juga diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shohih beliau (1162)
]
a.
Bagi yang ingin berpuasa ‘Asyuro hendaknya berpuasa
juga sehari sebelumnya
Ibnu Abbas
radhiyallohu ‘anhuma berkata : Ketika Rasulullah shallallohu alaihi wasallam
berpuasa pada hari ‘Asyura dan memerintahkan kaum muslimin berpuasa, mereka
(para shahabat) menyampaikan, “Ya Rasulullah ini adalah hari yang diagungkan
Yahudi dan Nasrani”. Maka Rasulullah shallallohu alaihi wasallam pun bersabda:
فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ
إِنْ شَاءَ اللَّهُ صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ قَالَ فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ
الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Jika tahun depan
insya Allah (kita bertemu kembali dengan bulan Muharram), kita akan berpuasa
juga pada hari kesembilan (tanggal sembilan).“
Akan tetapi belum
tiba Muharram tahun depan hingga Rasulullah shallallohu alaihi wasallam wafat
di tahun tersebut [ HR. Muslim (1134) ]
عَنْ
ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ قَالَ صُومُوا التَّاسِعَ وَالْعَاشِرَ وَخَالِفُوا
الْيَهُودَ
Ibnu Abbas
radhiyallohu anhuma beliau berkata, “Berpuasalah pada tanggal sembilan dan
sepuluh Muharram, berbedalah dengan orang Yahudi” [Diriwayatkan dengan
sanad yang shohih oleh Baihaqi di As Sunan Al Kubro (8665) dan Ath Thobari di
Tahdzib Al Aatsaar(1110)]
b.
Hukum Berpuasa Sehari Sesudah ‘Asyuro (tanggal 11
Muharram)
Imam Ibnu Qoyyim
dalam kitab Zaadul Ma’aad setelah merinci dan menjelaskan riwayat-riwayat
seputar puasa ‘Asyuro, beliau menyimpulkan : Ada tiga tingkatan berpuasa
‘Asyuro: Urutan pertama; dan ini yang paling sempurna adalah puasa tiga
hari, yaitu puasa tanggal sepuluh ditambah sehari sebelum dan sesudahnya
(9,10,11). Urutan kedua; puasa tanggal 9 dan 10. Inilah yang disebutkan
dalam banyak hadits . Urutan ketiga, puasa tanggal 10 saja (8).
Kesimpulan Ibnul Qayyim di atas didasari dengan sebuah hadits dari Ibnu Abbas
radhiyallohu anhuma, Rasulullah shallallohu alaihi wasallam. bersabda :
صُومُوا
يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَخَالِفُوا فِيهِ الْيَهُودَ صُومُوا قَبْلَهُ يَوْمًا أَوْ
بَعْدَهُ يَوْمًا
“Puasalah pada
hari Asyuro, dan berbedalah dengan Yahudi dalam masalah ini, berpuasalah sehari
sebelumnya atau sehari sesudahnya.“ [HR. Imam Ahmad(2047), Ibnu
Khuzaimah(2095) dan Baihaqi (8667)]
Namun hadits ini
sanadnya lemah, Asy Syaikh Al Albani rahimahulloh menyatakan, “Hadits ini
sanadnya lemah karena salah seorang perowinya yang bernama Muhammad bin
Abdurrahman bin Abi Laila jelek hafalannya, selain itu riwayatnya
menyelisihi riwayat ‘Atho bin Abi Rabah dan selainnya yang juga meriwayatkan
dengan sanad yang shohih bahwa ini adalah perkataan Ibnu Abbas
radhiyallohu anhuma sebagaimana yang disebutkan oleh Thahawi dan Baihaqi (9).
Dalam pandangan yang
lain, hadist yang lemah boleh dilaksanakan, hal ini dikarenakan untuk
memperkuat keimanan dan ketakwaan umat-Nya. Bereda dengan hadist yang
menjelaskan tentang syari’at. Maka hadist yang lemah tidak diperbolehkan untuk
dijadikan sebagai landasan atau dasar.
Namun demikian puasa
sebanyak tiga hari (9,10,dan 11 Muharram) dikuatkan oleh para ulama dengan dua
alasan:
1) Sebagai
kehati-hatian, yaitu kemungkinan penetapan awal bulannya tidak tepat, maka
puasa tanggal sebelasnya akan dapat memastikan bahwa seseorang mendapatkan
puasa Tasu’a (tanggal 9) dan Asyuro (tanggal 10).
2) Dimasukkan
dalam puasa tiga hari pertengahan bulan (Ayyamul bidh).
Adapun puasa tanggal
9 dan 10, pensyariatannya dinyatakan dalam hadis yang shahih, dimana
Rasulullah shallallohu alaihi wasallam pada akhir hidup beliau sudah
merencanakan untuk puasa pada tanggal 9, hanya saja beliau wafat sebelum
melaksanakannya. Beliau juga telah memerintahkan para shahabat untuk berpuasa
pada tanggal 9 dan tanggal 10 agar berbeda dengan ibadah orang-orang Yahudi.
Sedangkan puasa pada
tanggal sepuluh saja; sebagian ulama memakruhkannya, meskipun sebagian ulama
yang lain memandang tidak mengapa jika hanya berpuasa ‘Asyuro (tanggal 10) saja,
wallohu a’lam. Secara umum, hadits-hadis yang terkait dengan puasa Muharram
menunjukkan anjuran Rasulullah shallallohu alaihi wasallam untuk melakukan
puasa, sekalipun hukumnya tidak wajib tetapi sunnah muakkadah (sangat
dianjurkan), dan tentunya kita sepatutnya berusaha untuk menghidupkan sunnah
yang telah banyak dilalaikan oleh kaum muslimin.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari makalah ini kita
bisa mengetahui lebih dalam tentang sejarah bulan Muharram, yang mempunyai
beberapa keutamaan, amalan yang dianjurkan, hadits-hadits yang Disyariatkannya
B.
Saran
1.
Sebagai
Muslim yamg taat dengan ajaran agama Islam, hendaklah kita menyambut tahun baru
hijriah ini dengan berbuat dan memperbaiki amalan-amalan kita ditahun lalu.
2.
Hendaklah
menyambut tahun baru ini dengan tidak melakukan sesuatu seperti yang dilakukan
non muslim merayakan tahun baru Masehi janganlah melakukan berbagai kegiatan atau “ibadah” yang tidak dicontohkan oleh
Rasulullh SAW.