BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Ditengah
suasana pedesaan Jawa yang begitu kental Suasana pedesaan sangat kental. Di
kawasan masjid yang dipenuhi dengan kera-kera yang berkeliaran bebas.
Bangunan masjid juga sangat unik, beratapkan ijuk serta sebagian dindingnya
dari anyaman bambu.
Nama resmi masjid ini adalah masjid Saka Tunggal
Baitussalam, tapi lebih populer dengan nama masjid saka tunggal karena
memang Masjid ini hanya mempunyai saka tunggal (tiang penyangga tunggal). Saka
tunggal yang berada di tengah bangunan utama masjid, saka dengan empat sayap
ditengahnya yang akan nampak seperti sebuah totem
Dinamakan Masjid Saka Tunggal,
karena memang hanya memiliki satu pilar utama penyangga. Disekitar masjid terdapat
makam seorang penyebar agam Islam yang bernama Kyai Mustolih. Karena keunikan
tradisi Masjid Saka Tunggal menarik perhatian penyusun untuk melakukan
penelitian lebih detail tentang Masjid Saka Tunggal sebagai bahan penelitian
B.
TUJUAN
1.
Untuk
memenuhi tugas sekolah mata pelajaran Sejarah.
2.
Untuk
mengetahui sejarah dan tradisi Masjid Saka Tunggal.
3.
Melatih
keterampilan dasar untuk penelitian.
C.
METODE
Metode penelitian oleh penyusun
dipilih metode obervasi yaitu Pengumpulan
data dengan observasi adalah dengan cara pengambilan data dengan menggunakan berbagai
indra tanpa pertolongan alat standar untuk keperluan tersebut.
Metode observasi atau pengamatan meliputi
kegiatan pemusatan perhatian terhadap sesuatu objek dengan menggunakan seluruh
alat indra.
dan dokumentasi yaitu yang berhubungan dengan dokumen, foto, dan video.
Metode Wawancara secara lisan adalah wawancara yang dilakukan terhadap orang-orang
yang mengetahui sejarah.
BAB II
ISI
A.
Lokasi
Lokasi Masjid Saka Tunggal Baitussalam
Desa
Cikakak, Kecamatan Wangon Banyumas,Kabupaten Banyumas, Propinsi Jawa Tengah, Koordinat
Geografi : 7°28'26.05"S 109° 3'20.32"E
B.
Sejarah
Masjid ini
dibangun pada tahun 1288 Masehi sebagaimana tertulis di prasasti yang terpahat
di saka masjid itu. lebih tua dari kerajaan majapahit yang berdiri tahun 1294
Masehi, masjid ini berdiri ketika masa kerajaan Singasari dan merupakan masjid
tertua di indonesia.
Sejarah Masjid
Saka tunggal senantiasa terkait dengan Tokoh penyebar Islam di Cikakak, bernama
Mbah Mustolih yang hidup dalam Kesultanan Mataram Kuno. Itu sebabnya, tidak
heran bila unsur Kejawen masih cukup melekat. Dalam syiar Islam yang dilakukan,
Mbah Mustolih memang menjadikan Cikakak sebagai "markas" dengan
ditandai pembangunan masjid dengan tiang tunggal tersebut. Beliau
dimakamkan tak jauh dari masjid Saka Tunggal.
Berdasarkan
ceritera nara sumber yaitu KGPH Dipo Kusumo dari Keraton Surakarta Hadiningrat
dan Drs. Suwedi Montana , seorang peneliti Arkeologi Islam dari Puslit Arkenas
Jakarta pada tanggal 29 Januari 2002 dijelaskan sebagai berikut :
Sunan Panggung
adalah salah seorang dari kelompok Wali sanga yang merupakan murid Syech Siti
Jenar. Sunan Panggung meninggal pada masa pemerintahan Sultan Trenggono di
Demak Bintoro antara tahun 1546-1548 M. Menurut Serat Cabolek, Sunan Panggung
dihukum dengan cara dibakar atas kesalahannya menentang suatu syariat. Namun
demikian dalam hukumannya tersebut ia tidak mati, bahkan saat pada saat itu
mampu menulis suluk yang kemudian dikenal dengan sebutan Suluk Malangsumirang.
Sunan Panggung
menurunkan anak bernama Pengeran Halas. Pangeran Halas menurunkan Tumenggung
Perampilan. Tumenggung Perampilan menurunkan Kyai Cikakak. Kyai Cikakak
menurunkan Resayuda. Kyai Resayuda menurunkan Ngabehi Handaraka, dan Ngabehi
Handaraka menurunkan Mas Ayu Tejawati, Istri Amangkurat IV, yang menurunkan
Hamengkubuwana, Raja Ngayogyakarta Hadiningrat.
Kyai Cikakak yang
merupakan keturunan ketiga Sunan Panggung tidak diketahui nama aslinya. Nama
Kyai Cikakak diperkirakan merupakan sebutan, karena ia bertempat tinggal di
Desa Cikakak. Di Desa inilah Kyai Cikakak mendirikan
sebuah masjid dengan keunikan tersendiri, yaitu dengan tiang
utama tunggal ( saka tunggal ) yang masih lestari
hingga saat ini.
Masjid saka Tunggal di
bangun di tempat suci Agama Kuno ( agama yang berkembang sebelum masuknya agama
Hindu Budha ) yang dapat dibuktikan di sekitar masjid terdapat sebuah
batu menhir yang merupakan tempat untuk kegiatan ritual : agama kuno, dibangun
pada tahun 1522 M. Di sekitar tempat ini terdapat hutan pinus dan hutan besar
lainnya yang di huni oleh ratusan ekor kera yang jinak dan bersahabat, seperti
di Sangeh Bali.
Saat
ini Masjid Saka Tunggal belum kehilangan sama sekali wajah
aslinya. Bedanya, gebyok kayu dan gedek bambu yang semula menjadi
dinding masjid ini telah diganti dengan tembok.
Salah
satu tampilan asli masjid ini yang belum hilang
adalah saka tunggal di tengah-tengah
bangunan masjid. Sakatunggal tersebut dibuat dari galih kayu
jati berukir motif bunga warna-warni.Di bagian pangkal berdiameter sekitar 35
sentimeter. Saka ini berdiri hingga di atas wuwungan yang berbentuk
limas, seperti wuwungan padaMasjid AgungDemak.
Salah satu keunikanlain Saka Tunggal adalah keberadaan empat
helai sayap dari kayu di tengah saka.
Menurut Sopani
sang Juru pelihara Masjid Saka Tunggal tersebut, empat
sayap yang menempel di saka tersebut melambangkan papat kiblat lima
pancer, atau empat mata angin dan satu pusat. Papat kiblat lima pancer berarti
manusia sebagai pancer dikelilingi empat mata angin yang empat. Mata angin itu
berarti bahwa hidup manusia harus seimbang. Jangan terlalu banyak air bila tak
ingin tenggelam, jangan banyak angin bila tak mau masuk angin, jangan terlalu
bermain api bila tak mau terbakar, dan jangan terlalu memuja bumi bila tak
ingin jatuh. Hidup itu harus seimbang, kata Sopani.
Saka tunggal
mengandung arti bahwa hanya ada satu Tuhan, yaitu Allah. Empat sayap pada tiang
tunggal itu mungkin terkait dengan filosofi Jawa ‘Sedulur Papat Lima Pancer’
yang dimodifikasi Sunan Kalijaga dengan memasukkan unsur Islam, yaitu ‘sedulur
papat’ adalah empat jenis nafsu (aluamah, sufiyah, amarah dan muthmainah) dan
‘Lima pancer’ adalah rasa yang sejati (ada yang menyebutnya sebagai Nur
Muhammad) .
Nafsu Aluamah
merupakan nafsu dasar manusia, seperti makan, minum, berbusana, bercampur, yang
terjadi karena pengaruh unsur tanah. Nafsu Sufiyah merupakan nafsu yang senang
akan pujian, kekayaan, pangkat, derajat, yang dipengaruhi oleh unsur udara yang
selalu mengembang memenuhi ruang kosong.
Nafsu Amarah
merupakan nafsu yang terkait dengan rasa marah, emosi, ego, yang dipengaruhi
oleh unsur api. Nafsu Muthmainah adalah nafsu yang mengajak manusia kearah
kebaikan, yang dipengaruhi oleh unsur air.
Pada foto terlihat
angka tahun yang ditulis dalam huruf Arab 1288, yang diduga merupakan tahun
dibuatnya Masjid Saka Tunggal Cikakak ini. Karena angka pada tiang itulah
Masjid Saka Tunggal Cikakak dianggap sebagai masjid tertua di Indonesia.
Namun ada
ketidaksesuaian antara angka itu dengan kisah Kyai Tolih, yaitu yang dipercayai
sebagai pembabat alas dan pembuka permukiman Cikakak, sekaligus sebagai orang
yang pertama kali membangun Masjid Saka Tunggal Cikakak ini.
Dalam Babad
Wirasaba, Kyai Tolih bertemu dengan Kyai Mranggi di rumah Adipati Banyak Kumara
dari Kadipaten Kaleng. Kyai Mranggi hendak meminta bantuan keuangan dari
Adipati Banyak Kumara untuk membiayai pernikahaan anak angkatnya yaitu R Joko
Kaiman dengan putri sulung Adipati Wargautama dari Kadipaten Wirasaba.
Adipati Banyak
Kumara menyanggupi asalkan Kyai Mranggi membuatkan wrangka keris pusaka yang
dimiliki Kya Tolih. Kyai Mranggi setuju. Setelah dibawa ke rumah Kyai Mranggi
di Kejawar, keris tiba-tiba hilang, dan secara gaib terselip di pinggang R.
Joko Kahiman. Kyai Tolih pun kemudian merelakan kerisnya karena dianggap
berjodoh dengan R. Joko Kahiman. Setelah itu Kyai Tolih pergi dari Kaleng dan
membuka alas di daerah yang kemudian dikenal sebagai Cikakak.
Peristiwa
bertemunya Kyai Tolih dengan Kyai Mranggi mungkin antara tahun 1500 – 1568.
Tahun 1568 adalah perikiraan tewasnya Adipati Wargautama yang dibunuh oleh
utusan Pajang, di awal berdirinya Kesultanan Pajang. Jika Kyai Tolih telah
membangun Masjid Saka Tunggal pada 1288, itu artinya Kyai Tolih hidup lebih
dari 200 tahun.
Pertanyaan saya
yang kedua adalah jika benar bahwa 1288 adalah tahun pendirian Masjid Saka
Tunggal Cikakak, maka tidaklah lazim jika pada tahun itu orang Jawa mengacu
pada kalender Masehi.
Baru pada tahun
1502 Vasco da Gama memulai petualangan ke Timur. Portugis menaklukkan Malaka
pada 1511, disusul dengan kedatangan VOC dan Inggris. Jadi pengaruh Barat baru
muncul pada abad ke-16. Jan Pieterszoon Coen yang memimpin VOC pun baru
menyerbu dan menduduki Jayakarta pada 1619.
Kesimpulannya,
kecil kemungkinannya jika angka 1288 itu merujuk pada kalender Masehi. Itu jika
angkanya ditoreh pada saat masjid dibuat. Orang Jawa Islam saat itu tentu akan
mengacu pada kalender Hijriyah, atau pada Kalender Saka.
Jika mengacu pada
kalender Hijriyah, maka 1288 H adalah sekitar 1872 M. Angka ini tentunya tidak
cocok dengan kisah pertemuan Kyai Tolih dengan Kyai Mranggi di atas. Jika
mengacu pada kelender Saka, maka 1288 Saka adalah 1366 M. Lebih mendekati,
namun juga masih terlalu jauh jaraknya dengan kisah Kyai Tolih itu.
Jika 1288 M memang
tahun pendirian masjid, maka angka itu bisa jadi ditoreh lebih dari 300 – 400
tahun setelah masjid dibuat, saat kalender Masehi sudah merasuk sampai ke
kampung-kampung.
Bedug besar dan
kentongan kayu yang disimpan di ruang utama Masjid Saka Tunggal Cikakak. Hal
yang tidak lazim, karena bedug dan kentongan biasanya disimpan di serambi, di
luar ruang utama masjid.
Tarekat Aboge
Masyarakat desa Cikakak tempat
masjid Saka Tunggal Baitussalam ini berdiri seringkali menjadi pusat perhatian
media masa nasional terutama di setiap penghujung bulan Ramadhan karena
penetapan 1 Syawal sebagai hari pertama Idul Fitri yang tidak mengikuti
penetapan pemerintah, akibatnya seringkali Muslim disana merayakan lebaran
tidak berbarengan dengan muslim Indonesia lainnya.
Masyarakat muslim disini memang
merupakan pengikut tarekat Aboge yang memiliki perhitungan sendiri tentang
penetapan 1 Syawal. Di Desa Cikakak, sedikitnya ada 500 orang pengikut Aboge
terdiri dari orang dewasa dan generasi muda dan tentu saja semua peribadatan
komunal mereka diselenggarakan di Masjid Masjid Saka Tunggal ini. di dua sholat
hari raya masjid ini tidak mampu menampung seluruh jemaah sekaligus, sehingga
jamaah harus tumpah ruah ke halaman disekitar masjid.
Yang unik saat pelaksanaan sholat
Idul Fitri adalah khutbahnya disampaikan dalam bahasa Arab dan tanpa pengeras
suara, usai pelaksanaan ibadah Idul Fitri, jamaah melaksanakan pembacaan
takbir, ratib, tahlil dan sholawat bersama-sama. Suara beduk dan terbang
mengiringi prosesi itu. Setelah berdoa bersama-sama, prosesi silaturahmipun
dilaksanakan. Jamaah yang semula berada di dalam masjid kemudian mencair dan
melebur dengan warga yang berdatangan ke area kompleks Masjid Saka Tunggal.
Membentuk barisan yang panjang mengelilingi area kompleks masjid, merekapun
akhirnya saling berjabat tangan untuk saling memaafkan.
Usai prosesi silaturahmi, sebagian
pengikut Aboge mengadakan acara kenduri slametan di dalam masjid. Usai
didoakan, merekapun bersama menyantap makanan yang dibawa menggunakan 'tenong'
dan rantang. Menurut tradisi Aboge, Pedoman untuk menentukan 1 Syawal, adalah
Waljiro- 'Syawal Siji Loro' atau Syawal jatuh pada hari 'siji' (pertama) dari
hari Sabtu dan pasaran 'loro' (kedua) dari pasaran Legi maka 1 Syawal Tahun Dal
akan jatuh pada hari Sabtu Pahing.
Diketahui bahwa dalam Perhitungan
Aboge dikenal siklus delapan tahunan (satu windu) yang masing-masing tahun terkenal
dengan tahun Kuruf (Asal dari Bahasa Arab: Huruf). Tahun Kuruf terdiri dari
Alip, Ehe, Jimawal, Je, Dal, Be, Wawu, Jimakir. Dari sejumlah tetua pengikut
Aboge menyebutkan kesamaan rumus yang dipakai dalam menentukan tanggal, bulan
dan tahun Jawa Hijriyah. Selain itu, walaupun ada yang menyebut bahwa
perhitungan Aboge ini ditetapkan secara formal oleh Sultan Agung sejak abad 17
Masehi namun sejumlah pengikut Aboge menyatakan bahwa perhitungan Aboge ini
telah ada sejak abad 14-15 Masehi yang disebarkan oleh sejumlah wali dan
pengikutnya di daerah Banyumas.
C.
Tradisi Unik Masjid Saka Tunggal Baitussalam
1.
Zikir seperti melantunkan kidung
jawa
Keunikan masjid saka tunggal
Banyumas, benar benar terasa di hari Jum’at. Selama menunggu waktu sholat
jum’at dan setelah sholat jum’at, Jamaah masjid Saka Tunggal berzikir dan
bershalawat dengan nada seperti melantunkan kidung jawa. Dengan bahasa campuran
Arab dan Jawa, tradisi ini disebut tradisi ura ura.
2.
Pakaian Imam dan muazin
Imam masjid tidak menggunakan
penutup kepala yang lazimnya digunakan di Indonesia yang biasanya menggunakan
peci, kopiyah, tapi menggunakan udeng/pengikat kepala. khutbah jumat
disampaikan seperti melantunkan sebuah kidung,
3.
Empat muazin sekaligus
Empat orang muazim berpakaian sama
dengan imam, menggunakan baju lengan panjang warna putih, menggunakan udeng
bermotif batik, dan ke empat muazin tersebut mengumandangkan adzan secara
bersamaan.
4.
Semuanya dilakukan berjama’ah
Uniknya lagi, seluruh rangkaian
sholat jumat dilakukan secara berjamaah, mulai dari shalat tahiyatul masjid,
kobliah juma’at, shalat Jumat, ba’diah jum’at, shalat zuhur, hingga ba’diah
zuhur. Semuanya dilakukan secara
berjamaah.
5. Tanpa
Pengeras Suara
Masjid Saka Tunggal Baitussalam
hingga saat ini masih mempertahankan tradisi untuk tidak menggunakan pengeras
suara. Meski demikian suara azan yang dilantunkan oleh empat muazin sekaligus,
tetap terdengar begitu lantang dan merdu dari masjid ini.
6. Ritual
Penjarohan
Ritual Penjarohan digelar setiap
tanggal 26 Rajab di halaman Masjid Saka Tunggal, Ritual ini sebagai bentuk rasa
syukur dan sekaligus haul Mbah Mustalih pendiri Masjid Saka Tunggal dan seligus
perayaan ulang tahun masjid Saka Tunggal. Penjarohan berasal dari kata
"jaroh", yang artinya ziarah. Intinya adalah penghormatan kepada
leluhur yang telah mendirikan desa dan masjid Saka Tunggal yang sampai sekarang
menjadi pusat kegiatan peribadatan dan sosial mereka. Dalam ritual itu, mereka
juga memanjatkan doa kepada Tuhan Yang Maha Esa agar diberi keselamatan,
kesehatan, dan rezeki yang melim
7. Ritual
Ganti Jaro, Masjid Saka Tunggal
Adalah ritual mengganti pagar bambu
keliling masjid saka tunggal. Ritual ini diikuti oleh seluruh warga desa
Cikakak. Dalam ritual yang mereka sebut ganti Jaro Rajapine. Saat membuat pagar
ada beberapa pantangan yang harus ditaati. Mereka dilarang berbicara dengan
suara keras serta tidak boleh menggunakan alas kaki. Sehingga yang terdengar
hanya pagar bambu yang dipukul. Karena melibatkan ratusan warga, hanya dalam
waktu 2 jam pagar sepanjang 300 meter ini selesai.
Selain bermakna kebersamaan dan
gotong royong, tradisi ganti Jaro Rajab ini bagi warga di sini dipercaya bisa
menghilangkan sifat jahat dari diri manusia. Pagar bambu ini selain
mengelilingi Masjid Saka Tunggal juga makam Nyai Toleh. Seorang penyebar agama
di Banyumas. Sejumlah utusan dari kraton Surakarta dan Ngayogjogkarta
Hadiningrat ikut ambil bagian dalam acara ini dengan memanjatkan doa di makam,
sebagai rasa syukur.
Ritual ganti Jaro Rajab ini kemudian
diakhiri dengan prosesi arak arakan 5 gulungan yang berisi nasi tumpeng ini
kemudian diperebutkan warga karena dipercaya bisa memberikan berkah.
D. Arsitektur Masjid Saka Tunggal
Baitussalam
Salah satu keunikan Saka Tunggal adalah
empat helai sayap dari kayu di tengah saka. Empat sayap yang menempel di saka
tersebut melambangkan ”papat kiblat lima pancer”, atau empat mata angin dan
satu pusat. Papat kiblat lima pancer berarti manusia sebagai pancer dikelilingi
empat mata angin yang melambangkan api, angin, air, dan bumi. Saka
tunggal itu perlambang bahwa orang hidup ini seperti alif, harus lurus. Jangan
bengkok, jangan nakal, jangan berbohong. Kalau bengkok, maka bukan lagi
manusia.
Empat mata angin itu berarti bahwa
hidup manusia harus seimbang. Jangan terlalu banyak air bila tak ingin
tenggelam, jangan banyak angin bila tak mau masuk angin, jangan terlalu bermain
api bila tak mau terbakar, dan jangan terlalu memuja bumi bila tak ingin jatuh.
”Hidup itu harus seimbang,”
Papat kiblat lima pancer ini sama
dengan empat nafsu yang ada dalam manusia. Empat nafsu yang dalam terminologi
Islam-Jawa sering dirinci dengan istilah aluamah, mutmainah, sopiah, dan
amarah. Empat nafsu yang selalu bertarung dan memengaruhi watak manusia.
Keaslian yang masih terpelihara
adalah ornamen di ruang utama, khususnya di mimbar khotbah dan imaman. Ada dua
ukiran di kayu yang bergambar nyala sinar matahari yang mirip lempeng mandala.
Gambar seperti ini banyak ditemukan pada bangunan-bangunan kuno era Singasari
dan Majapahit.
Kekhasan yang lain adalah atap dari
ijuk kelapa berwarna hitam. Atap seperti ini mengingatkan atap bangunan pura
zaman Majapahit atau tempat ibadah umat Hindu di Bali. Tempat wudu pun juga
masih bernuansa zaman awal didirikan meskipun dindingnya sudah diganti dengan
tembok.
1.
Renovasi dan Benda Benda Peninggalan
Sejak tahun 1965 masjid ini sudah
dua kali dipugar. Selain dinding tembok, juga diberi dinding anyaman bambu
serta lapisan atap seng, Meski sebagian dinding telah direhab dengan tembok,
tetapi arsitektur masjid tetap tidak diubah. Sehingga tidak ada perbedaan
bentuk yang berarti dari awal berdiri hingga sekarang. Sedangkan tiang dari
kayu jati yang menopang bangunan utama masjid dengan ukuran masih terlihat
begitu kokoh. Selama ratusan tahun berdiri, warga dan jamaah di Cikakak sama
sekali tidak mengganti bangunan utama yang ada di tempat itu, kecuali hanya
membangun tembok sekeliling masjid sebagai penopang. Barang lainnya yang sampai
sekarang masih tetap rapi dan dipelihara di antaranya adalah bedug, kentongan,
mimbar masjid, tongkat khatib dan tempat wudlu. Renovasi gerbang ini tampaknya sudah lama berselang,
sehingga kondisi saat itu sudah tidak begitu baik, terutama pada bagian atapnya
dimana lapisan daun rumbianya sudah terkelupas nyaris habis, menyisakan atap
seng yang sudah berkarat.
2. Status
Masjid Saka Tunggal Baitussalam
Sebagaimana tertulis dalam papan
peringatan di sekitar masjid, tertulis bahwa, Masjid Saka Tunggal
Baitussalam, Desa Cikakak, Kabupaten Banyumas merupakan Benda Cagar
Budaya/Situs dengan nomor 11-02/Bas/51/TB/04 dan dilindungi undang undang RI
No. 5 tahun 1992 dan PP nomor 10 tahun 1993.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Nama resmi masjid ini adalah
masjid Saka Tunggal Baitussalam, tapi lebih populer dengan nama
masjid saka tunggal karena memang Masjid ini hanya mempunyai saka tunggal
(tiang penyangga tunggal).
Tradisi Unik Masjid Saka Tunggal
Baitussalam yaitu Zikir seperti
melantunkan kidung jawa, Pakaian Imam dan muazin, Empat muazin sekaligus,
Semuanya dilakukan berjama’ah, Tanpa Pengeras Suara, Ritual Penjarohan, Ritual
Ganti Jaro, Masjid Saka Tunggal.
Masyarakat desa Cikakak tempat
masjid Saka Tunggal Baitussalam ini berdiri seringkali menjadi pusat perhatian
media masa nasional terutama di setiap penghujung bulan Ramadhan karena
penetapan 1 Syawal sebagai hari pertama Idul Fitri yang tidak mengikuti
penetapan pemerintah, akibatnya seringkali Muslim disana merayakan lebaran
tidak berbarengan dengan muslim Indonesia lainnya.
Status
Masjid Saka Tunggal Baitussalam Sebagaimana tertulis dalam papan peringatan di sekitar
masjid, tertulis bahwa, Masjid Saka Tunggal Baitussalam, Desa Cikakak,
Kabupaten Banyumas merupakan Benda Cagar Budaya/Situs dengan nomor
11-02/Bas/51/TB/04 dan dilindungi undang undang RI No. 5 tahun 1992 dan PP
nomor 10 tahun 1993.
DAFTAR PUSTAKA
http://visitbanyumas.blogspot.com/2012/07/masjid-saka-tunggal-cikakak-wangon.html
http://bujangmasjid.blogspot.com/2010/08/masjid-saka-tunggal-masjid-tertua-di.html
A.
JURNAL KEGIATAN
No |
Hari/Tgl |
Uraian Kegiatan |
Keterangan |
1. |
Rabu, 6/11/2013 |
Persiapan Penelitian |
|
2. |
Kamis, 7/11/2013 |
Berangkat Ke Lokasi Penelitian,
Melakukan Observasi, Wawancara, dan Dokumentasi |
|
3. |
Sabtu, 9/11/2013 |
Proses Penyusunan Laporan
Penelitian |
|
4. |
Sabtu, 16/11/2013 |
Pengumpulan Hasil Laporan
Penelitian |
|
B.
FOTO KEGIATAN