Selamat Datang

Minggu, 27 Desember 2020

LAPORAN PENELITIAN MASJID SAKA TUNGGAL CIKAKAK

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

 

A.      LATAR BELAKANG

Ditengah suasana pedesaan Jawa yang begitu kental Suasana pedesaan sangat kental. Di kawasan masjid yang dipenuhi dengan kera-kera yang berkeliaran bebas. Bangunan masjid juga sangat unik, beratapkan ijuk serta sebagian dindingnya dari anyaman bambu.

Nama resmi masjid ini adalah masjid  Saka Tunggal Baitussalam,  tapi lebih populer dengan nama masjid saka tunggal karena memang Masjid ini hanya mempunyai saka tunggal (tiang penyangga tunggal). Saka tunggal yang berada di tengah bangunan utama masjid, saka dengan empat sayap ditengahnya yang akan nampak seperti sebuah totem

Dinamakan Masjid Saka Tunggal, karena memang hanya memiliki satu pilar utama penyangga. Disekitar masjid terdapat makam seorang penyebar agam Islam yang bernama Kyai Mustolih. Karena keunikan tradisi Masjid Saka Tunggal menarik perhatian penyusun untuk melakukan penelitian lebih detail tentang Masjid Saka Tunggal sebagai bahan penelitian

 

B.       TUJUAN

1.      Untuk memenuhi tugas sekolah mata pelajaran Sejarah.

2.      Untuk mengetahui sejarah dan tradisi Masjid Saka Tunggal.

3.      Melatih keterampilan dasar untuk penelitian.

 

C.      METODE

Metode penelitian oleh penyusun dipilih metode obervasi yaitu Pengumpulan data dengan observasi adalah dengan cara pengambilan data dengan menggunakan berbagai indra tanpa pertolongan alat standar untuk keperluan tersebut.

Metode observasi atau pengamatan meliputi kegiatan pemusatan perhatian terhadap sesuatu objek dengan menggunakan seluruh alat indra. dan dokumentasi yaitu yang berhubungan dengan dokumen, foto, dan video.

Metode Wawancara secara lisan adalah wawancara yang dilakukan terhadap orang-orang yang mengetahui sejarah.

BAB II

ISI

 

A.      Lokasi

Lokasi Masjid Saka Tunggal Baitussalam

Desa Cikakak, Kecamatan Wangon Banyumas,Kabupaten Banyumas, Propinsi Jawa Tengah, Koordinat Geografi : 7°28'26.05"S 109° 3'20.32"E

B.       Sejarah

Masjid ini dibangun pada tahun 1288 Masehi sebagaimana tertulis di prasasti yang terpahat di saka masjid itu. lebih tua dari kerajaan majapahit yang berdiri tahun 1294 Masehi, masjid ini berdiri ketika masa kerajaan Singasari dan merupakan masjid tertua di indonesia.

Sejarah Masjid Saka tunggal senantiasa terkait dengan Tokoh penyebar Islam di Cikakak, bernama Mbah Mustolih yang hidup dalam Kesultanan Mataram Kuno. Itu sebabnya, tidak heran bila unsur Kejawen masih cukup melekat. Dalam syiar Islam yang dilakukan, Mbah Mustolih memang menjadikan Cikakak sebagai "markas" dengan ditandai pembangunan masjid dengan tiang tunggal tersebut.  Beliau dimakamkan tak jauh dari masjid Saka Tunggal.

Berdasarkan ceritera nara sumber yaitu KGPH Dipo Kusumo dari Keraton Surakarta Hadiningrat dan Drs. Suwedi Montana , seorang peneliti Arkeologi Islam dari Puslit Arkenas Jakarta pada tanggal 29 Januari 2002 dijelaskan sebagai berikut :

Sunan Panggung adalah salah seorang dari kelompok Wali sanga yang merupakan murid Syech Siti Jenar. Sunan Panggung meninggal pada masa pemerintahan Sultan Trenggono di Demak Bintoro antara tahun 1546-1548 M. Menurut Serat Cabolek, Sunan Panggung dihukum dengan cara dibakar atas kesalahannya menentang suatu syariat. Namun demikian dalam hukumannya tersebut ia tidak mati, bahkan saat pada saat itu mampu menulis suluk yang kemudian dikenal dengan sebutan Suluk Malangsumirang.

Sunan Panggung menurunkan anak bernama Pengeran Halas. Pangeran Halas menurunkan Tumenggung Perampilan. Tumenggung Perampilan menurunkan Kyai Cikakak. Kyai Cikakak menurunkan Resayuda. Kyai Resayuda menurunkan Ngabehi Handaraka, dan Ngabehi Handaraka menurunkan Mas Ayu Tejawati, Istri Amangkurat IV, yang menurunkan Hamengkubuwana, Raja Ngayogyakarta Hadiningrat.

Kyai Cikakak yang merupakan keturunan ketiga Sunan Panggung tidak diketahui nama aslinya. Nama Kyai Cikakak diperkirakan merupakan sebutan, karena ia bertempat tinggal di Desa Cikakak. Di Desa inilah Kyai Cikakak mendirikan sebuah masjid dengan keunikan tersendiri, yaitu dengan tiang utama tunggal ( saka tunggal ) yang masih lestari hingga saat ini.

Masjid saka Tunggal di bangun di tempat suci Agama Kuno ( agama yang berkembang sebelum masuknya agama Hindu Budha ) yang dapat dibuktikan di sekitar masjid terdapat sebuah batu menhir yang merupakan tempat untuk kegiatan ritual : agama kuno, dibangun pada tahun 1522 M. Di sekitar tempat ini terdapat hutan pinus dan hutan besar lainnya yang di huni oleh ratusan ekor kera yang jinak dan bersahabat, seperti di Sangeh Bali.

Saat ini Masjid Saka Tunggal belum kehilangan sama sekali wajah aslinya. Bedanya, gebyok kayu dan gedek bambu yang semula menjadi dinding masjid ini telah diganti dengan tembok.

Salah satu tampilan asli masjid ini yang belum hilang adalah saka tunggal di tengah-tengah bangunan masjid. Sakatunggal tersebut dibuat dari galih kayu jati berukir motif bunga warna-warni.Di bagian pangkal berdiameter sekitar 35 sentimeter. Saka ini berdiri hingga di atas wuwungan yang berbentuk limas, seperti wuwungan        padaMasjid AgungDemak. Salah satu keunikanlain Saka Tunggal adalah keberadaan empat helai sayap dari kayu di tengah saka.

Menurut Sopani sang Juru pelihara Masjid Saka Tunggal tersebut, empat sayap yang menempel di saka tersebut melambangkan papat kiblat lima pancer, atau empat mata angin dan satu pusat. Papat kiblat lima pancer berarti manusia sebagai pancer dikelilingi empat mata angin yang empat. Mata angin itu berarti bahwa hidup manusia harus seimbang. Jangan terlalu banyak air bila tak ingin tenggelam, jangan banyak angin bila tak mau masuk angin, jangan terlalu bermain api bila tak mau terbakar, dan jangan terlalu memuja bumi bila tak ingin jatuh. Hidup itu harus seimbang, kata Sopani.

Saka tunggal mengandung arti bahwa hanya ada satu Tuhan, yaitu Allah. Empat sayap pada tiang tunggal itu mungkin terkait dengan filosofi Jawa ‘Sedulur Papat Lima Pancer’ yang dimodifikasi Sunan Kalijaga dengan memasukkan unsur Islam, yaitu ‘sedulur papat’ adalah empat jenis nafsu (aluamah, sufiyah, amarah dan muthmainah) dan ‘Lima pancer’ adalah rasa yang sejati (ada yang menyebutnya sebagai Nur Muhammad) .

Nafsu Aluamah merupakan nafsu dasar manusia, seperti makan, minum, berbusana, bercampur, yang terjadi karena pengaruh unsur tanah. Nafsu Sufiyah merupakan nafsu yang senang akan pujian, kekayaan, pangkat, derajat, yang dipengaruhi oleh unsur udara yang selalu mengembang memenuhi ruang kosong.

Nafsu Amarah merupakan nafsu yang terkait dengan rasa marah, emosi, ego, yang dipengaruhi oleh unsur api. Nafsu Muthmainah adalah nafsu yang mengajak manusia kearah kebaikan, yang dipengaruhi oleh unsur air.

 

 

 

 

 

 


Pada foto terlihat angka tahun yang ditulis dalam huruf Arab 1288, yang diduga merupakan tahun dibuatnya Masjid Saka Tunggal Cikakak ini. Karena angka pada tiang itulah Masjid Saka Tunggal Cikakak dianggap sebagai masjid tertua di Indonesia.

Namun ada ketidaksesuaian antara angka itu dengan kisah Kyai Tolih, yaitu yang dipercayai sebagai pembabat alas dan pembuka permukiman Cikakak, sekaligus sebagai orang yang pertama kali membangun Masjid Saka Tunggal Cikakak ini.

Dalam Babad Wirasaba, Kyai Tolih bertemu dengan Kyai Mranggi di rumah Adipati Banyak Kumara dari Kadipaten Kaleng. Kyai Mranggi hendak meminta bantuan keuangan dari Adipati Banyak Kumara untuk membiayai pernikahaan anak angkatnya yaitu R Joko Kaiman dengan putri sulung Adipati Wargautama dari Kadipaten Wirasaba.

Adipati Banyak Kumara menyanggupi asalkan Kyai Mranggi membuatkan wrangka keris pusaka yang dimiliki Kya Tolih. Kyai Mranggi setuju. Setelah dibawa ke rumah Kyai Mranggi di Kejawar, keris tiba-tiba hilang, dan secara gaib terselip di pinggang R. Joko Kahiman. Kyai Tolih pun kemudian merelakan kerisnya karena dianggap berjodoh dengan R. Joko Kahiman. Setelah itu Kyai Tolih pergi dari Kaleng dan membuka alas di daerah yang kemudian dikenal sebagai Cikakak.

Peristiwa bertemunya Kyai Tolih dengan Kyai Mranggi mungkin antara tahun 1500 – 1568. Tahun 1568 adalah perikiraan tewasnya Adipati Wargautama yang dibunuh oleh utusan Pajang, di awal berdirinya Kesultanan Pajang. Jika Kyai Tolih telah membangun Masjid Saka Tunggal pada 1288, itu artinya Kyai Tolih hidup lebih dari 200 tahun.

Pertanyaan saya yang kedua adalah jika benar bahwa 1288 adalah tahun pendirian Masjid Saka Tunggal Cikakak, maka tidaklah lazim jika pada tahun itu orang Jawa mengacu pada kalender Masehi.

Baru pada tahun 1502 Vasco da Gama memulai petualangan ke Timur. Portugis menaklukkan Malaka pada 1511, disusul dengan kedatangan VOC dan Inggris. Jadi pengaruh Barat baru muncul pada abad ke-16. Jan Pieterszoon Coen yang memimpin VOC pun baru menyerbu dan menduduki Jayakarta pada 1619.

Kesimpulannya, kecil kemungkinannya jika angka 1288 itu merujuk pada kalender Masehi. Itu jika angkanya ditoreh pada saat masjid dibuat. Orang Jawa Islam saat itu tentu akan mengacu pada kalender Hijriyah, atau pada Kalender Saka.

Jika mengacu pada kalender Hijriyah, maka 1288 H adalah sekitar 1872 M. Angka ini tentunya tidak cocok dengan kisah pertemuan Kyai Tolih dengan Kyai Mranggi di atas. Jika mengacu pada kelender Saka, maka 1288 Saka adalah 1366 M. Lebih mendekati, namun juga masih terlalu jauh jaraknya dengan kisah Kyai Tolih itu.

Jika 1288 M memang tahun pendirian masjid, maka angka itu bisa jadi ditoreh lebih dari 300 – 400 tahun setelah masjid dibuat, saat kalender Masehi sudah merasuk sampai ke kampung-kampung.

Bedug besar dan kentongan kayu yang disimpan di ruang utama Masjid Saka Tunggal Cikakak. Hal yang tidak lazim, karena bedug dan kentongan biasanya disimpan di serambi, di luar ruang utama masjid.

 

 

 

 

 

Tarekat Aboge

Masyarakat desa Cikakak tempat masjid Saka Tunggal Baitussalam ini berdiri seringkali menjadi pusat perhatian media masa nasional terutama di setiap penghujung bulan Ramadhan karena penetapan 1 Syawal sebagai hari pertama Idul Fitri yang tidak mengikuti penetapan pemerintah, akibatnya seringkali Muslim disana merayakan lebaran tidak berbarengan dengan muslim Indonesia lainnya.

Masyarakat muslim disini memang merupakan pengikut tarekat Aboge yang memiliki perhitungan sendiri tentang penetapan 1 Syawal. Di Desa Cikakak, sedikitnya ada 500 orang pengikut Aboge terdiri dari orang dewasa dan generasi muda dan tentu saja semua peribadatan komunal mereka diselenggarakan di Masjid Masjid Saka Tunggal ini. di dua sholat hari raya masjid ini tidak mampu menampung seluruh jemaah sekaligus, sehingga jamaah harus tumpah ruah ke halaman disekitar masjid.

Yang unik saat pelaksanaan sholat Idul Fitri adalah khutbahnya disampaikan dalam bahasa Arab dan tanpa pengeras suara, usai pelaksanaan ibadah Idul Fitri, jamaah melaksanakan pembacaan takbir, ratib, tahlil dan sholawat bersama-sama. Suara beduk dan terbang mengiringi prosesi itu. Setelah berdoa bersama-sama, prosesi silaturahmipun dilaksanakan. Jamaah yang semula berada di dalam masjid kemudian mencair dan melebur dengan warga yang berdatangan ke area kompleks Masjid Saka Tunggal. Membentuk barisan yang panjang mengelilingi area kompleks masjid, merekapun akhirnya saling berjabat tangan untuk saling memaafkan.

Usai prosesi silaturahmi, sebagian pengikut Aboge mengadakan acara kenduri slametan di dalam masjid. Usai didoakan, merekapun bersama menyantap makanan yang dibawa menggunakan 'tenong' dan rantang. Menurut tradisi Aboge, Pedoman untuk menentukan 1 Syawal, adalah Waljiro- 'Syawal Siji Loro' atau Syawal jatuh pada hari 'siji' (pertama) dari hari Sabtu dan pasaran 'loro' (kedua) dari pasaran Legi maka 1 Syawal Tahun Dal akan jatuh pada hari Sabtu Pahing.

Diketahui bahwa dalam Perhitungan Aboge dikenal siklus delapan tahunan (satu windu) yang masing-masing tahun terkenal dengan tahun Kuruf (Asal dari Bahasa Arab: Huruf). Tahun Kuruf terdiri dari Alip, Ehe, Jimawal, Je, Dal, Be, Wawu, Jimakir. Dari sejumlah tetua pengikut Aboge menyebutkan kesamaan rumus yang dipakai dalam menentukan tanggal, bulan dan tahun Jawa Hijriyah. Selain itu, walaupun ada yang menyebut bahwa perhitungan Aboge ini ditetapkan secara formal oleh Sultan Agung sejak abad 17 Masehi namun sejumlah pengikut Aboge menyatakan bahwa perhitungan Aboge ini telah ada sejak abad 14-15 Masehi yang disebarkan oleh sejumlah wali dan pengikutnya di daerah Banyumas.

C.      Tradisi Unik Masjid Saka Tunggal Baitussalam

1.    Zikir seperti melantunkan kidung jawa

Keunikan masjid saka tunggal Banyumas, benar benar terasa di hari Jum’at. Selama menunggu waktu sholat jum’at dan setelah sholat jum’at, Jamaah masjid Saka Tunggal berzikir dan bershalawat dengan nada seperti melantunkan kidung jawa. Dengan bahasa campuran Arab dan Jawa, tradisi ini disebut tradisi ura ura.

2.    Pakaian Imam dan muazin

Imam masjid tidak menggunakan penutup kepala yang lazimnya digunakan di Indonesia yang biasanya menggunakan peci, kopiyah, tapi menggunakan udeng/pengikat kepala. khutbah jumat disampaikan seperti melantunkan sebuah kidung,

3.    Empat muazin sekaligus

Empat orang muazim berpakaian sama dengan imam, menggunakan baju lengan panjang warna putih, menggunakan udeng bermotif batik, dan ke empat muazin tersebut mengumandangkan adzan secara bersamaan.

4.    Semuanya dilakukan berjama’ah

Uniknya lagi, seluruh rangkaian sholat jumat dilakukan secara berjamaah, mulai dari shalat tahiyatul masjid, kobliah juma’at, shalat Jumat, ba’diah jum’at, shalat zuhur, hingga ba’diah zuhur. Semuanya dilakukan secara berjamaah.

5.    Tanpa Pengeras Suara

Masjid Saka Tunggal Baitussalam hingga saat ini masih mempertahankan tradisi untuk tidak menggunakan pengeras suara. Meski demikian suara azan yang dilantunkan oleh empat muazin sekaligus, tetap terdengar begitu lantang dan merdu dari masjid ini.

6.    Ritual Penjarohan

Ritual Penjarohan digelar setiap tanggal 26 Rajab di halaman Masjid Saka Tunggal, Ritual ini sebagai bentuk rasa syukur dan sekaligus haul Mbah Mustalih pendiri Masjid Saka Tunggal dan seligus perayaan ulang tahun masjid Saka Tunggal. Penjarohan berasal dari kata "jaroh", yang artinya ziarah. Intinya adalah penghormatan kepada leluhur yang telah mendirikan desa dan masjid Saka Tunggal yang sampai sekarang menjadi pusat kegiatan peribadatan dan sosial mereka. Dalam ritual itu, mereka juga memanjatkan doa kepada Tuhan Yang Maha Esa agar diberi keselamatan, kesehatan, dan rezeki yang melim

7.    Ritual Ganti Jaro, Masjid Saka Tunggal

Adalah ritual mengganti pagar bambu keliling masjid saka tunggal. Ritual ini diikuti oleh seluruh warga desa Cikakak. Dalam ritual yang mereka sebut ganti Jaro Rajapine. Saat membuat pagar ada beberapa pantangan yang harus ditaati. Mereka dilarang berbicara dengan suara keras serta tidak boleh menggunakan alas kaki. Sehingga yang terdengar hanya pagar bambu yang dipukul. Karena melibatkan ratusan warga, hanya dalam waktu 2 jam pagar sepanjang 300 meter ini selesai.

Selain bermakna kebersamaan dan gotong royong, tradisi ganti Jaro Rajab ini bagi warga di sini dipercaya bisa menghilangkan sifat jahat dari diri manusia. Pagar bambu ini selain mengelilingi Masjid Saka Tunggal juga makam Nyai Toleh. Seorang penyebar agama di Banyumas. Sejumlah utusan dari kraton Surakarta dan Ngayogjogkarta Hadiningrat ikut ambil bagian dalam acara ini dengan memanjatkan doa di makam, sebagai rasa syukur.

Ritual ganti Jaro Rajab ini kemudian diakhiri dengan prosesi arak arakan 5 gulungan yang berisi nasi tumpeng ini kemudian diperebutkan warga karena dipercaya bisa memberikan berkah.

D.      Arsitektur Masjid Saka Tunggal Baitussalam

Salah satu keunikan Saka Tunggal adalah empat helai sayap dari kayu di tengah saka. Empat sayap yang menempel di saka tersebut melambangkan ”papat kiblat lima pancer”, atau empat mata angin dan satu pusat. Papat kiblat lima pancer berarti manusia sebagai pancer dikelilingi empat mata angin yang melambangkan api, angin, air, dan bumi.  Saka tunggal itu perlambang bahwa orang hidup ini seperti alif, harus lurus. Jangan bengkok, jangan nakal, jangan berbohong. Kalau bengkok, maka bukan lagi manusia.

Empat mata angin itu berarti bahwa hidup manusia harus seimbang. Jangan terlalu banyak air bila tak ingin tenggelam, jangan banyak angin bila tak mau masuk angin, jangan terlalu bermain api bila tak mau terbakar, dan jangan terlalu memuja bumi bila tak ingin jatuh. ”Hidup itu harus seimbang,”

Papat kiblat lima pancer ini sama dengan empat nafsu yang ada dalam manusia. Empat nafsu yang dalam terminologi Islam-Jawa sering dirinci dengan istilah aluamah, mutmainah, sopiah, dan amarah. Empat nafsu yang selalu bertarung dan memengaruhi watak manusia.

Keaslian yang masih terpelihara adalah ornamen di ruang utama, khususnya di mimbar khotbah dan imaman. Ada dua ukiran di kayu yang bergambar nyala sinar matahari yang mirip lempeng mandala. Gambar seperti ini banyak ditemukan pada bangunan-bangunan kuno era Singasari dan Majapahit.

Kekhasan yang lain adalah atap dari ijuk kelapa berwarna hitam. Atap seperti ini mengingatkan atap bangunan pura zaman Majapahit atau tempat ibadah umat Hindu di Bali. Tempat wudu pun juga masih bernuansa zaman awal didirikan meskipun dindingnya sudah diganti dengan tembok.

1.       Renovasi dan Benda Benda Peninggalan

Sejak tahun 1965 masjid ini sudah dua kali dipugar. Selain dinding tembok, juga diberi dinding anyaman bambu serta lapisan atap seng, Meski sebagian dinding telah direhab dengan tembok, tetapi arsitektur masjid tetap tidak diubah. Sehingga tidak ada perbedaan bentuk yang berarti dari awal berdiri hingga sekarang. Sedangkan tiang dari kayu jati yang menopang bangunan utama masjid dengan ukuran masih terlihat begitu kokoh. Selama ratusan tahun berdiri, warga dan jamaah di Cikakak sama sekali tidak mengganti bangunan utama yang ada di tempat itu, kecuali hanya membangun tembok sekeliling masjid sebagai penopang. Barang lainnya yang sampai sekarang masih tetap rapi dan dipelihara di antaranya adalah bedug, kentongan, mimbar masjid, tongkat khatib dan tempat wudlu. Renovasi gerbang ini tampaknya sudah lama berselang, sehingga kondisi saat itu sudah tidak begitu baik, terutama pada bagian atapnya dimana lapisan daun rumbianya sudah terkelupas nyaris habis, menyisakan atap seng yang sudah berkarat.

2.      Status Masjid Saka Tunggal Baitussalam

Sebagaimana tertulis dalam papan peringatan di sekitar  masjid, tertulis bahwa, Masjid Saka Tunggal Baitussalam, Desa Cikakak, Kabupaten Banyumas merupakan Benda Cagar Budaya/Situs dengan nomor 11-02/Bas/51/TB/04 dan dilindungi undang undang RI No. 5 tahun 1992 dan PP nomor 10 tahun 1993.

 

BAB III

PENUTUP

 

 

A.      KESIMPULAN

Nama resmi masjid ini adalah masjid  Saka Tunggal Baitussalam,  tapi lebih populer dengan nama masjid saka tunggal karena memang Masjid ini hanya mempunyai saka tunggal (tiang penyangga tunggal). Tradisi Unik Masjid Saka Tunggal Baitussalam yaitu Zikir seperti melantunkan kidung jawa, Pakaian Imam dan muazin, Empat muazin sekaligus, Semuanya dilakukan berjama’ah, Tanpa Pengeras Suara, Ritual Penjarohan, Ritual Ganti Jaro, Masjid Saka Tunggal.

Masyarakat desa Cikakak tempat masjid Saka Tunggal Baitussalam ini berdiri seringkali menjadi pusat perhatian media masa nasional terutama di setiap penghujung bulan Ramadhan karena penetapan 1 Syawal sebagai hari pertama Idul Fitri yang tidak mengikuti penetapan pemerintah, akibatnya seringkali Muslim disana merayakan lebaran tidak berbarengan dengan muslim Indonesia lainnya.

Status Masjid Saka Tunggal Baitussalam Sebagaimana tertulis dalam papan peringatan di sekitar  masjid, tertulis bahwa, Masjid Saka Tunggal Baitussalam, Desa Cikakak, Kabupaten Banyumas merupakan Benda Cagar Budaya/Situs dengan nomor 11-02/Bas/51/TB/04 dan dilindungi undang undang RI No. 5 tahun 1992 dan PP nomor 10 tahun 1993.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

http://visitbanyumas.blogspot.com/2012/07/masjid-saka-tunggal-cikakak-wangon.html

http://bujangmasjid.blogspot.com/2010/08/masjid-saka-tunggal-masjid-tertua-di.html

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

A.      JURNAL KEGIATAN

 

No

Hari/Tgl

Uraian Kegiatan

Keterangan

1.

Rabu,   6/11/2013

Persiapan Penelitian

 

2.

Kamis, 7/11/2013

Berangkat Ke Lokasi Penelitian, Melakukan Observasi, Wawancara, dan Dokumentasi

 

3.

Sabtu,  9/11/2013

Proses Penyusunan Laporan Penelitian

 

4.

Sabtu, 16/11/2013

Pengumpulan Hasil Laporan Penelitian

 

 

 

 

 

 

 

 

 

B.       FOTO KEGIATAN