Selamat Datang

Jumat, 16 Mei 2014

Makalah suku kebudayaan suku di indonesia



BAB I
PENDAHULUAN


A.      Latar Belakang
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas dari guru mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial Sesuai Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar (SK&KD). Makalah ini disusun berdasarkan tugas kelompok, kelompok  kami  mendapat tugas materi mencari kebudayaan suku Asmat, Dayak, Makasar, Dani.

B.       Rumusan Makalah
§  Bagaimana Sejarah Kebudayaan Suku Dayak?
§  Bagaimana Sejarah Kebudayaan Suku Dani?
§  Bagaimana Sejarah Kebudayaan Suku Asmat?
§  Bagaimana Sejarah Kebudayaan Suku Makassar?

C.      Tujuan
1.  Memenuhi tugas guru mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial.
2.  Menambah referensi mengenai kebudayaan di Indonesia.
3.  Menambah pengetahuan mengenai sejarah kebudayaan di Indonesia.

D.      Manfaat makalah
1.  Menambah wawasan kita tentang kebudayaan di Indonesia.
2.  Menambah referensi mengenai kebudayaan di Indonesia
















BAB II
PEMBAHASAN

A.     Sejarah Awal Adanya Suku Dayak di Indonesia

Sejarah Awal Adanya Suku Dayak di Indonesia - Suku dayak,adalah suku yang sangat fenomenal yang ada di negara Indonesia,karena terkenal akan kekuatan magisnya, Kata Dayak berasal dari kata "Daya" yang artinya hulu, untuk menyebutkan masyarakat yang tinggal di pedalaman atau perhuluan Kalimantan umumnya dan Kalimantan Barat.

Pada tahun (1977-1978) saat itu, benua Asia dan pulau Kalimantan yang merupakan bagian nusantara yang masih menyatu, yang memungkinkan ras mongoloid dari asia mengembara melalui daratan dan sampai di Kalimantan dengan melintasi pegunungan yang sekarang disebut pegunungan “Muller-Schwaner”. Suku Dayak merupakan penduduk Kalimantan yang sejati. Namun setelah orang-orang Melayu dari Sumatra dan Semenanjung Malaka datang, mereka makin lama makin mundur ke dalam.

Belum lagi kedatangan orang-orang Bugis, Makasar, dan Jawa pada masa kejayaan Kerajaan Majapahit. Suku Dayak hidup terpencar-pencar di seluruh wilayah Kalimantan dalam rentang waktu yang lama, mereka harus menyebar menelusuri sungai-sungai hingga ke hilir dan kemudian mendiami pesisir pulau Kalimantan. Suku ini terdiri atas beberapa suku yang masing-masing memiliki sifat dan perilaku berbeda.


Suku Dayak pernah membangun sebuah kerajaan. Dalam tradisi lisan Dayak, sering disebut ”Nansarunai Usak Jawa”, yakni sebuah kerajaan Dayak Nansarunai yang hancur oleh Majapahit, yang diperkirakan terjadi antara tahun 1309-1389 (Fridolin Ukur,1971). Kejadian tersebut mengakibatkan suku Dayak terdesak dan terpencar, sebagian masuk daerah pedalaman. Arus besar berikutnya terjadi pada saat pengaruh Islam yang berasala dari kerajaan Demak bersama masuknya para pedagang Melayu (sekitar tahun 1608).

Sebagian besar suku Dayak memeluk Islam dan tidak lagi mengakui dirinya sebagai orang Dayak, tapi menyebut dirinya sebagai orang Melayu atau orang Banjar. Sedangkan orang Dayak yang menolak agama Islam kembali menyusuri sungai, masuk ke pedalaman di Kalimantan Tengah, bermukim di daerah-daerah Kayu Tangi, Amuntai, Margasari, Watang Amandit, Labuan Lawas dan Watang Balangan. Sebagain lagi terus terdesak masuk rimba. Orang Dayak pemeluk Islam kebanyakan berada di Kalimantan Selatan dan sebagian Kotawaringin, salah seorang Sultan Kesultanan Banjar yang terkenal adalah Lambung Mangkurat sebenarnya adalah seorang Dayak (Ma’anyan atau Ot Danum)
Tidak hanya dari nusantara, bangsa-bangsa lain juga berdatangan ke Kalimantan. Bangsa Tionghoa diperkirakan mulai datang ke Kalimantan pada masa Dinasti Ming tahun 1368-1643. Dari manuskrip berhuruf kanji disebutkan bahwa kota yang pertama di kunjungi adalah Banjarmasin. Tetapi masih belum jelas apakah bangsa Tionghoa datang pada era Bajarmasin (dibawah hegemoni Majapahit) atau di era Islam.

Kedatangan bangsa Tionghoa tidak mengakibatkan perpindahan penduduk Dayak dan tidak memiliki pengaruh langsung karena langsung karena mereka hanya berdagang, terutama dengan kerajaan Banjar di Banjarmasin. Mereka tidak langsung berniaga dengan orang Dayak. Peninggalan bangsa Tionghoa masih disimpan oleh sebagian suku Dayak seperti piring malawen, belanga (guci) dan peralatan keramik.

Sejak awal abad V bangsa Tionghoa telah sampai di Kalimantan. Pada abad XV Raja Yung Lo mengirim sebuah angkatan perang besar ke selatan (termasuk Nusantara) di bawah pimpinan Chang Ho, dan kembali ke Tiongkok pada tahun 1407, setelah sebelumnya singgah ke Jawa, Kalimantan, Malaka, Manila dan Solok. Pada tahun 1750, Sultan Mempawah menerima orang-orang Tionghoa (dari Brunei) yang sedang mencari emas. Orang-orang Tionghoa tersebut membawa juga barang dagangan diantaranya candu, sutera, barang pecah belah seperti piring, cangkir, mangkok dan guci (Sarwoto kertodipoero,1963)

Dibawah ini ada beberapa adat istiadat bagi suku dayak yang masih terpelihara hingga kini, dan dunia supranatural Suku Dayak pada zaman dahulu maupun zaman sekarang yang masih kuat sampai sekarang. Adat istiadat ini merupakan salah satu kekayaan budaya yang dimiliki oleh Bangsa Indonesia, karena pada awal mulanya Suku Dayak berasal dari pedalaman Kalimantan.

* Upacara Tiwah
Upacara Tiwah merupakan acara adat suku Dayak. Tiwah merupakan upacara yang dilaksanakan untuk pengantaran tulang orang yang sudah meninggal ke Sandung yang sudah di buat. Sandung adalah tempat yang semacam rumah kecil yang memang dibuat khusus untuk mereka yang sudah meninggal dunia.

Upacara Tiwah bagi Suku Dayak sangatlah sakral, pada acara Tiwah ini sebelum tulang-tulang orang yang sudah mati tersebut di antar dan diletakkan ke tempatnya (sandung), banyak sekali acara-acara ritual, tarian, suara gong maupun hiburan lain. Sampai akhirnya tulang-tulang tersebut di letakkan di tempatnya (Sandung).

* Dunia Supranatural
Dunia Supranatural bagi Suku Dayak memang sudah sejak jaman dulu merupakan ciri khas kebudayaan Dayak. Karena supranatural ini pula orang luar negeri sana menyebut Dayak sebagai pemakan manusia ( kanibal ). Namun pada kenyataannya Suku Dayak adalah suku yang sangat cinta damai asal mereka tidak di ganggu dan ditindas semena-mena. Kekuatan supranatural Dayak Kalimantan banyak jenisnya, contohnya Manajah Antang. Manajah Antang merupakan cara suku Dayak untuk mencari petunjuk seperti mencari keberadaan musuh yang sulit di temukan dari arwah para leluhur dengan media burung Antang, dimanapun musuh yang di cari pasti akan ditemukan.
Mangkok merah. Mangkok merah merupakan media persatuan Suku Dayak. Mangkok merah beredar jika orang Dayak merasa kedaulatan mereka dalam bahaya besar. “Panglima” atau sering suku Dayak sebut Pangkalima biasanya mengeluarkan isyarat siaga atau perang berupa mangkok merah yang di edarkan dari kampung ke kampung secara cepat sekali. Dari penampilan sehari-hari banyak orang tidak tahu siapa panglima Dayak itu. Orangnya biasa-biasa saja, hanya saja ia mempunyai kekuatan supranatural yang luar biasa. Percaya atau tidak panglima itu mempunyai ilmu bisa terbang kebal dari apa saja seperti peluru, senjata tajam dan sebagainya.

Mangkok merah tidak sembarangan diedarkan. Sebelum diedarkan sang panglima harus membuat acara adat untuk mengetahui kapan waktu yang tepat untuk memulai perang. Dalam acara adat itu roh para leluhur akan merasuki dalam tubuh pangkalima lalu jika pangkalima tersebut ber “Tariu” ( memanggil roh leluhur untuk untuk meminta bantuan dan menyatakan perang ) maka orang-orang Dayak yang mendengarnya juga akan mempunyai kekuatan seperti panglimanya. Biasanya orang yang jiwanya labil bisa sakit atau gila bila mendengar tariu.

Orang-orang yang sudah dirasuki roh para leluhur akan menjadi manusia dan bukan. Sehingga biasanya darah, hati korban yang dibunuh akan dimakan. Jika tidak dalam suasana perang tidak pernah orang Dayak makan manusia. Kepala dipenggal, dikuliti dan di simpan untuk keperluan upacara adat. Meminum darah dan memakan hati itu, maka kekuatan magis akan bertambah. Makin banyak musuh dibunuh maka orang tersebut makin sakti.

Mangkok merah terbuat dari teras bambu (ada yang mengatakan terbuat dari tanah liat) yang didesain dalam bentuk bundar segera dibuat. Untuk menyertai mangkok ini disediakan juga perlengkapan lainnya seperti ubi jerangau merah (acorus calamus) yang melambangkan keberanian (ada yang mengatakan bisa diganti dengan beras kuning), bulu ayam merah untuk terbang, lampu obor dari bambu untuk suluh (ada yang mengatakan bisa diganti dengan sebatang korek api), daun rumbia (metroxylon sagus) untuk tempat berteduh dan tali simpul dari kulit kepuak sebagai lambang persatuan. Perlengkapan tadi dikemas dalam mangkok dari bambu itu dan dibungkus dengan kain merah.

Menurut cerita turun-temurun mangkok merah pertama beredar ketika perang melawan Jepang dulu. Lalu terjadi lagi ketika pengusiran orang Tionghoa dari daerah-daerah Dayak pada tahun 1967. pengusiran Dayak terhadap orang Tionghoa bukannya perang antar etnis tetapi lebih banyak muatan politisnya. Sebab saat itu Indonesia sedang konfrontasi dengan Malaysia.

Menurut
kepercayaan Dayak, terutama yang dipedalaman Kalimantan yang disampaikan dari mulut ke mulut, dari nenek kepada bapak, dari bapak kepada anak, hingga saat ini yang tidak tertulis mengakibatkan menjadi lebih atau kurang dari yang sebenar-benarnya, bahwa asal-usul nenek moyang suku Dayak itu diturunkan dari langit yang ke tujuh ke dunia ini dengan “Palangka Bulau” ( Palangka artinya suci, bersih, merupakan ancak, sebagai tandu yang suci, gandar yang suci dari emas diturunkan dari langit, sering juga disebutkan “Ancak atau Kalangkang” ).



B.      Mengenal Sejarah Budaya Suku Dani Papua

Mengenal Sejarah Budaya Suku Dani Papua, Papua adalah sebuah provinsi terluas Indonesia yang terletak di bagian tengah Pulau Papua atau bagian paling timur West New Guinea Irian Jaya. Belahan timurnya merupakan negara Papua Nugini atau East New Guinea. Papua memang memiliki daya tarik dan eksotisme tersendiri. Selain memiliki pemandangan yang luar biasa sebagai pemanja mata, provinsi paling terujung Indonesia ini memiliki aneka ragam budaya

Dan pesona Burung endemik Tanah Papua yaitu Cendrawasih serta keunikan dari suku yang bermukim di dalamnya. Salah satunya diantaranya adalah Suku Dani yang mendiami sebuah wilayah di Lembah Baliem, Wamena, Papua.
Meskipun banyak orang menyebut mereka dengan sebutan Suku Dani, namun orang Suku Dani sendiri menyebut mereka sebagai Suku Parim. Suku Dani atau Suku Parim ini termasuk suku yang masih memegang teguh kepercayaan mereka. Salah satunya adalah selalu memberi hormat pada orang-orang yang sudah meninggal. Hal tersebut dilakukan dengan cara mengadakan upacara serta penyembelihan babi.

Suku Dani juga merupakan salah satu suku di Papua yang masih mengenakan
Koteka yang terbuat dari kunden kuning. Para wanitanya pun masih menggunakan pakaian berjuluk wah yang berasal dari rumput serat dan tinggal di Honai-Honai sebuah gubuk yang beratapkan jerami atau ilalang.

Sebagian masyarakat Suku Dani sudah memeluk agama Kristen, akibat pengaruh misionaris Eropa yang pernah datang ke lokasi tersebut sekitar tahun 1935. Kendati demikian Suku Dani masih memiliki kepercayaan adat yang lebih dikenal dengan konsep yang dinamakan Atou yang dipercaya bahwa segala kesaktian yang dimiliki oleh para leluhur suku Dani diberikan secara turun temurun kepada kaum lelaki. Kesaktian tersebut antara lain kesaktian menjaga kebun, kesaktian mengobati atau menyembuhkan penyakit sekaligus menghindarinya, serta kesaktian untuk memberi kesuburan pada tanah yang digunakan untuk bercocok tanam. Suku Dani juga memiliki simbol yang mereka namakan Kaneka. Lambang tersebut dipakai saat upacara tradisi yang bersifat keagamaan.

Meskipun suku dani tinggal di hutan-hutan dengan iklim tropis yang sangat kaya akan flora dan fauna papua ini masih melakukan serangkaian upacara adat, salah satunya adalah Rekwasi. Rekwasi adalah sebuah upacara adat yang dilakukan untuk menghormati para leluhur. DiRekwasi, para prajurit biasanya akan membuat tanfa dengan lemak babi, kerang, bulu-bulu, kus-kus, sagu rekat, getah pohon mangga, dan bunga-bungaan di bagian tubuh mereka. Saat melakukan upacara ini, para peserta juga melengkapi dirinya dengan senjata tradisional seperti tombak, kapak, parang, dan juga busur beserta anak panahnya.

Kepercayaan suku Dani menganut konsep yang dinamakan Atou. Artinya adalah segala kesaktian yang dipunya oleh para leluhur suku Dani diberikan secara turun temurun kepada kaum lelaki. Menurut budaya suku Dani, jenis kesaktian tersebut antara lain adalah kesaktian agar bisa punya kekuatan untuk menjaga kebun, kesaktian agar mampu mengobati atau menyembuhkan penyakit sekaligus menghindarinya dan kesaktian untuk memberi kesuburan pada tanah yang digunakan untuk bercocok tanam.

Untuk memberi penghormatan pada arwah leluhur, suku Dani menciptakan lambang untuk mereka sendiri yang dinamakan dengan Kaneka. Fungsi Kaneka ini adalah dipakai atau dimunculkan ketika sedang diselenggarakan upacara tradisi yang bersifat keagamaan untuk membuat semua anggota masyarakat bisa sejahtera serta sebagai simbol ketika akan memulai perang dan mengakhirinya.
Budaya suku Dani dalam menjalani hubungan antar masyarakat menggunakan sistem yang terbagi dalam tiga jenis tingkat hubungan kekeluargaan, yaitu :
  • Hubungan antar suku Dani yang di dalamnya terdapat beberapa kelompok ukul. Hubungan ini diberi nama ukul oak atau ukul besar.
  • Hubungan teritorial, yaitu kesatuan dari teritorial paling kecil suku Dani. Merupakan gabungan dari ukul besar yang diberi nama uma. Kelompok ini selalu dipimpin oleh laki-laki.Memilih Pemimpin Suku Dani.
  • Agar selalu hidup secara rukun dan damai dengan menjunjung semangat kebersamaan, orang suku Dani membuat semacamHubungan kekeluargaan yang paling kecil. Meliputi sebuah kumpulan yang terdiri dari dua sampai tiga keluarga yang secara bersama-sama tinggal di sebuah komplek yang ditutup dengan pagar. Sistem ini dinamakan ukul atau klan yang kecil. organisasi yang diketuai oleh kepala suku. 
  • Dia dipilih secara turun temurun dan mendapat panggilan Ap Kain. Untuk menjalankan tugasnya, Ap Kain dibantu oleh tiga kepala suku yang lain di bawah kedudukannya. Mereka ini mendapat julukan Ap Menteg, Ap Horeg dan Ap Ubaik. Tugas mereka adalah mengurus perawatan kebun dan binatang ternak babi. Selain itu juga menjadi penengah sekaligus hakim ketika ada perselisihan antar suku Dani.
  • Meski dipilih melalui jalur keturunan, ketua suku yang terpilih tetap harus memenuhi berbagai syarat. Antara lain adalah memiliki pengetahuan tinggi tentang ilmu pertanian, ramah dan rendah hati, terampil berburu, punya nyali yang tinggi, bisa melakukan komunikasi dengan baik dan punya keberanian tinggi untuk melakukan perang ketika ada masalah dengan suku lain.
Masih banyak keunikan tradisi warisan leluhur yang tersimpan pada Suku Dani yang dijaga dengan sangat baik oleh warganya. Mereka percaya bahwa menghormati para nenek moyang serta leluhur merupakan cara yang tepat dalam menghargai alam serta isinya. 
Makassar adalah sebuah nama kota di provinsi Sulawesi Selatan saat ini. Kota ini didiami oleh orang-orang Suku Makassar yang terkenal dengan panggilan “daeng”. Selain itu, Makassar terkenal dari beberapa sisi, mulai dari sejarahnya yang panjang, budayanya yang beragam, kulinernya yang membuat tenggorakan ngiler, pemandangan pantainya yang indah, hingga kebrutalan mahasiswa dan tingkat kekerasannya yang tinggi. Inilah yang membuat kota Makassar terkenal, setidaknya menjadi stereotip.
Suku Makassar, sebagai suku terbesar di Sulawesi Selatan, menyimpang sejarah yang sangat panjang. Dalam catatan sejarah yang tertulis dalam “lontara”, suku Makassar sudah menguasai Pulau Sulawesi sejak abad ke-16. Bahkan kekuasaan orang-orang Suku Makassar saat itu meliputi Seluruh pulau Sulawesi, Sebagian Kalimantan, Sebagian Pulau Maluku, Nusa Tenggara, Hingga Timor-Timur (Timor Leste saat ini). Menurut sejarah, kekuasaan orang-orang Suku Makassar ditandai dengan adanya pohon Lontara. Dimana ada pohon lontara, maka disitulah batasnya kekuasaan orang Makassar.
Sebenarnya, suku Makassar adalah salah satu suku dari empat suku besar yang ada di Sulawesi Selatan, yaitu Suku Makassar, Suku Bugis, Suku Mandar dan Suku Toraja. Tetapi dalam perjalanan sejarahnya, suku-suku diatas takluk dibawah kepemimpinan Suku Makassar. Walaupun ketaklukan itu, selalu menyimpan bara dendam diantara suku-suku lainnya, dan ini terbukti dengan adanya pemberontakan yang di lakukan Aru Palaka (Raja Bone/Bugis) melawan kekuasaan Suku Makassar. Dan ini dimamfaatkan oleh Belanda saat itu untuk menjatuhkan Kesultanan Gowa (Makassar).
Suku Makassar sendiri terdiri dari beberapa sub suku yang tersebar luas di selatan pulau Sulawesi, tersebar dari Kota Makassar, Kabupaten Gowa, Takalar, Je’neponto, Bantaeng, Bulukumba, Selayar, Maros, dan Pangkep. Sub suku itu seperti, suku Makassar Lakiung, Turatea (Suku Je’neponto dan Bantaeng), Suku Konjo (Bulukumba dan Sebagian Maros), dan Suku Selayar. Sub suku ini memiliki dialek bahasa yang berbeda-beda, tetapi masih dalam rumpun bahasa Makassar. Di perkirakan jumlah populasi orang suku Makassar sekitar 1,8 juta jiwa.
Sejak dulu, Suku Makassar adalah pelaut ulung. Bahkan karena kekuatan lautnya, sehingga mampu menyatukan daerah-daerah yang luas seperti Sulawesi, Kalimantan, Nusatenggara, Timur Leste dan Maluku kedalam satu kekuasaan Kesultanan Goa (Makassar). Orang Makassar adalah orang yang pantang menyerah. Walaupun, pada pertempuran melawan Belanda, mereka kalah, tetapi sebagian besar pejuang-pejuang Makassar tidak menerima kekelahan tersebut. Mereka menyebar ke pulau Jawa, Kalimantan dan Sumatera. Mereka itu seperti Karaeng Galesong, yang Hijrah ke tanah Jawa dan kerap mengganggu armada Belanda di laut hingga dia di juluki oleh Spielman “Bajak Laut”. Selain itu ada nama ulama besar saat itu yang mengabdi untuk kerajaan Banten melawan Belanda, Syekh Yusuf al-Maqassary. Bahkan Syekh Yusuf lebih di kenal di Afrika Selatan sebagai penyebar agama Islam, setelah dibuang Belanda kesana. Hingga saat ini, namanya masih diabadikan menjadi sebuang nama kampung di Afrika Selatan “Kampung Makassar”.
Masih banyak sisi-sisi keunikan dari suku Makassar yang belum sempat diulas, seperti keunikan sisi kulinernya (pisang ijo, pisang efek, pallu butung, pallu basa, pallu konro, kacipo, dumpi eja, dan lain-lain) dari segi pemadangan alam pantai yang terkenal (Pantai Losari, tanjung Bayam, tanjung Bunga, Pasir putih/pantai Bira di Bulukumba dan lain-lain). Selain itu, masih banyak peninggalan budaya, teknologi dan bangunan kuno seperti benteng, istana, tarian, kesenian daerah, perahu kora-kora, perahu pinisi dan lain-lain. Kita akan membahasnya dilain waktu.
Makassar adalah sebuah nama kota di provinsi Sulawesi Selatan saat ini. Kota ini didiami oleh orang-orang Suku Makassar yang terkenal dengan panggilan “daeng”. Selain itu, Makassar terkenal dari beberapa sisi, mulai dari sejarahnya yang panjang, budayanya yang beragam, kulinernya yang membuat tenggorakan ngiler, pemandangan pantainya yang indah, hingga kebrutalan mahasiswa dan tingkat kekerasannya yang tinggi. Inilah yang membuat kota Makassar terkenal, setidaknya menjadi stereotip.
Suku Makassar, sebagai suku terbesar di Sulawesi Selatan, menyimpang sejarah yang sangat panjang. Dalam catatan sejarah yang tertulis dalam “lontara”, suku Makassar sudah menguasai Pulau Sulawesi sejak abad ke-16. Bahkan kekuasaan orang-orang Suku Makassar saat itu meliputi Seluruh pulau Sulawesi, Sebagian Kalimantan, Sebagian Pulau Maluku, Nusa Tenggara, Hingga Timor-Timur (Timor Leste saat ini). Menurut sejarah, kekuasaan orang-orang Suku Makassar ditandai dengan adanya pohon Lontara. Dimana ada pohon lontara, maka disitulah batasnya kekuasaan orang Makassar.
Sebenarnya, suku Makassar adalah salah satu suku dari empat suku besar yang ada di Sulawesi Selatan, yaitu Suku Makassar, Suku Bugis, Suku Mandar dan Suku Toraja. Tetapi dalam perjalanan sejarahnya, suku-suku diatas takluk dibawah kepemimpinan Suku Makassar. Walaupun ketaklukan itu, selalu menyimpan bara dendam diantara suku-suku lainnya, dan ini terbukti dengan adanya pemberontakan yang di lakukan Aru Palaka (Raja Bone/Bugis) melawan kekuasaan Suku Makassar. Dan ini dimamfaatkan oleh Belanda saat itu untuk menjatuhkan Kesultanan Gowa (Makassar).
Suku Makassar sendiri terdiri dari beberapa sub suku yang tersebar luas di selatan pulau Sulawesi, tersebar dari Kota Makassar, Kabupaten Gowa, Takalar, Je’neponto, Bantaeng, Bulukumba, Selayar, Maros, dan Pangkep. Sub suku itu seperti, suku Makassar Lakiung, Turatea (Suku Je’neponto dan Bantaeng), Suku Konjo (Bulukumba dan Sebagian Maros), dan Suku Selayar. Sub suku ini memiliki dialek bahasa yang berbeda-beda, tetapi masih dalam rumpun bahasa Makassar. Di perkirakan jumlah populasi orang suku Makassar sekitar 1,8 juta jiwa.
Sejak dulu, Suku Makassar adalah pelaut ulung. Bahkan karena kekuatan lautnya, sehingga mampu menyatukan daerah-daerah yang luas seperti Sulawesi, Kalimantan, Nusatenggara, Timur Leste dan Maluku kedalam satu kekuasaan Kesultanan Goa (Makassar). Orang Makassar adalah orang yang pantang menyerah. Walaupun, pada pertempuran melawan Belanda, mereka kalah, tetapi sebagian besar pejuang-pejuang Makassar tidak menerima kekelahan tersebut. Mereka menyebar ke pulau Jawa, Kalimantan dan Sumatera. Mereka itu seperti Karaeng Galesong, yang Hijrah ke tanah Jawa dan kerap mengganggu armada Belanda di laut hingga dia di juluki oleh Spielman “Bajak Laut”. Selain itu ada nama ulama besar saat itu yang mengabdi untuk kerajaan Banten melawan Belanda, Syekh Yusuf al-Maqassary. Bahkan Syekh Yusuf lebih di kenal di Afrika Selatan sebagai penyebar agama Islam, setelah dibuang Belanda kesana. Hingga saat ini, namanya masih diabadikan menjadi sebuang nama kampung di Afrika Selatan “Kampung Makassar”.
Masih banyak sisi-sisi keunikan dari suku Makassar yang belum sempat diulas, seperti keunikan sisi kulinernya (pisang ijo, pisang efek, pallu butung, pallu basa, pallu konro, kacipo, dumpi eja, dan lain-lain) dari segi pemadangan alam pantai yang terkenal (Pantai Losari, tanjung Bayam, tanjung Bunga, Pasir putih/pantai Bira di Bulukumba dan lain-lain). Selain itu, masih banyak peninggalan budaya, teknologi dan bangunan kuno seperti benteng, istana, tarian, kesenian daerah, perahu kora-kora, perahu pinisi dan lain-lain. Kita akan membahasnya dilain waktu.


                                                                  





C.     Mengenal Suku Asmat

Mengenal Suku Asmat. Berbicara tentang suku asmat pasti suku ini sudah cukup familiar bagi masyarakat indonesia atau mungkin masih ada juga yang belum pernah mengetahui suku yang terletak di Propinsi Irian Jaya atau Papua. papua adalah sebuah provinsi terluas Indonesia yang terletak di bagian tengah Pulau Papua atau bagian paling timur West New Guinea (Irian Jaya). Belahan timurnya merupakan negara Papua Nugini atau East New Guinea.

Suku Asmat berada di antara Suku Mappi, Yohukimo dan Jayawijaya di antara berbagai macam suku lainnya yang ada di Pulau Papua. Sebagaimana suku lainnya yang berada di wilayah ini, Suku Asmat ada yang tinggal di daerah pesisir pantai dengan jarak tempuh dari 100 km hingga 300 km, bahkan Suku Asmat yang berada di daerah pedalaman, dikelilingi oleh hutan heterogen yang berisi tanaman rotan, kayu (gaharu) dan umbi-umbian dengan waktu tempuh selama 1 hari 2 malam untuk mencapai daerah pemukiman satu dengan yang lainnya. Sedangkan jarak antara perkampungan dengan kecamatan sekitar 70 km. Dengan kondisi geografis demikian, maka berjalan kaki merupakan satu-satunya cara untuk mencapai daerah perkampungan satu dengan lainnya.

Suku asmat sendiri dikenal dengan hasil ukiran kayunya yang unik, suku ini memiliki patung khasnya yakni Patung Asmat. suku asmat ini merupakan salah satu dari begitu banyaknya suku yang terdapat di indonesia yang memiliki keunikan dalam berbagai sudut pandang. Dijaman yang modern ini mereka masih tetap mempertahankan adat istiadat dan keyakinan yang mereka yakini.
Suku Asmat berasal dari rumpun Polonesia dengan ciri-ciri fisik warna kulit gelap dan

rambut ikal yang hitam, kelopak mata bulat , hidung mancung dan berperawakan tegap. Seperti suku lainya di Papua suku asmat memiliki kepala suku atau kepala adat yang biasanya dipilih oleh masyarakat suku itu sendiri danberasal dari suku tertua, marga yang dianggap tua atau bahkan bisa diangkat dari seorang yang dianggap berjasa bagi mereka , seperti memenangkan peperangan . jadi di dalam suku asmat jika kepala suku atau kepala adat meninggal tidak ada yang disebut pewarisan tahta kepemimpinan seperti dikenal dalam tradisi kerajaan.

populasi suku asmat terbagi dua yaitu mereka yang tinggal di pesisir pantai dan mereka yang tinggal di bagian pedalaman. kedua populasi ini saling berbada satu sama lain dalam hal cara hidup,sturktur sosial dan ritual.populasi pesisir pantai selanjutnya terbagi kedalam dua bagian yaitu suku bisman yang berada di antara sungai sinesty dan sungai nin serta suku simai.

Mata pencaharian suku asmat antara pesisir dan pedalaman pasti jelas berbeda suku asmat pedalaman mempunyai kebiasaan sehari-hari dalam mata pencahariannya adalah berburu binatang hutan separti, ular, kasuari, burung, babi hutan dll. mereka juga selalu meramuh / menokok sagu sebagai makan pokok sedangkan suku asmat yang tinggal di pesisir biasanya akan menjadi nelayan untuk mencari ikan dan udang sebagai mata pencahariannya.

Sehari-hari orang Asmat bekerja dilingkungan sekitarnya,terutama untuk mencari makan, dengan cara berburu, berkebun, maupun memancing yang tentunya masih menggunakan metode yang cukup tradisional dan sederhana. Masakan suku Asmat tidak seperti masakan jaman sekarang pada umumnya . Masakan istimewa bagi mereka adalah ulat sagu. Namun sehari-harinya mereka hanya memanggang ikan atau daging binatang hasil buruan.

Dalam kehidupan suku Asmat “batu” yang biasa kita lihat dijalanan ternyata sangat berharga bagi mereka. Bahkan, batu-batu itu bisa dijadikan sebagai mas kawin. Semua itu disebabkan karena tempat tinggal suku Asmat yang membetuk rawa-rawa sehingga sangat sulit menemukan batu-batu jalanan yang sangat berguna bagi mereka untuk membuat kapak, palu, dan sebagainya.

suku asmat meiliki cara yang sangat sederhana untuk merias diri mereka. mereka hanya membutuhkan tanah merah untuk menghasilkan warna merah. untuk menghasilkan warna putih mereka membuatnya dari kulit kerang yang sudah dihaluskan. sedangkan warnah hitam mereka hasilkan dari arang kayu yang dihaluskan. cara menggunakan pun cukup simpel, hanya dengan mencampur bahan tersebut dengan sedikit air, pewarna itu sudah bisa digunkan untuk mewarnai tubuh.

Suku asmat memang terkenal dengan seni ukiranya. bagi suku asmat sendiri ukiran bisa menjadi penghubung antara kehidupan masa kini dengan kehidupan leluhur. di setiap ukiran bersemayam citra dan penghargaan atas nenek moyang mereka yang sarat dengan kebesaran suku asmat.

patung dan ukiran umumnya mereka buat tanpa sketsa. bagi suku asmat kala menukir patung adlah saat di mana mereka berkomunikasi dengan leluhur yag ada di alam lain. itu dimungkinkan karena mereka mengenal tiga konsep dunia: Amat ow capinmi (alam kehidupan sekarang), Dampu ow campinmi (alam pesinggahan roh yang sudah meninggal), dan Safar (surga).

Selain budaya istimewa yang dimiliki suku asmat ternyata terdapat banyak pertentangan di antara desa asmat. yang paling mengerikan adalah cara yang dipakai suku asmat membunuh musuhnya. ketika musuh terbunuh, mayatnya akan dibawa kekampung, kemudian dipotong dan dibagikan kepada seluruh penduduk untuk memakannya bersama – sama lalu mereka akan menyanyikan lagu kematian dan memenggal kepalanya. otaknya dibunngkus daun sago dan dipanggang kemudian dimakan.







D.      Suku Makassar, Suku Terbesar di Sulawesi Selatan

Makassar adalah sebuah nama kota di provinsi Sulawesi Selatan saat ini. Kota ini didiami oleh orang-orang Suku Makassar yang terkenal dengan panggilan “daeng”. Selain itu, Makassar terkenal dari beberapa sisi, mulai dari sejarahnya yang panjang, budayanya yang beragam, kulinernya yang membuat tenggorakan ngiler, pemandangan pantainya yang indah, hingga kebrutalan mahasiswa dan tingkat kekerasannya yang tinggi. Inilah yang membuat kota Makassar terkenal, setidaknya menjadi stereotip.
Suku Makassar, sebagai suku terbesar di Sulawesi Selatan, menyimpang sejarah yang sangat panjang. Dalam catatan sejarah yang tertulis dalam “lontara”, suku Makassar sudah menguasai Pulau Sulawesi sejak abad ke-16. Bahkan kekuasaan orang-orang Suku Makassar saat itu meliputi Seluruh pulau Sulawesi, Sebagian Kalimantan, Sebagian Pulau Maluku, Nusa Tenggara, Hingga Timor-Timur (Timor Leste saat ini). Menurut sejarah, kekuasaan orang-orang Suku Makassar ditandai dengan adanya pohon Lontara. Dimana ada pohon lontara, maka disitulah batasnya kekuasaan orang Makassar.
Sebenarnya, suku Makassar adalah salah satu suku dari empat suku besar yang ada di Sulawesi Selatan, yaitu Suku Makassar, Suku Bugis, Suku Mandar dan Suku Toraja. Tetapi dalam perjalanan sejarahnya, suku-suku diatas takluk dibawah kepemimpinan Suku Makassar. Walaupun ketaklukan itu, selalu menyimpan bara dendam diantara suku-suku lainnya, dan ini terbukti dengan adanya pemberontakan yang di lakukan Aru Palaka (Raja Bone/Bugis) melawan kekuasaan Suku Makassar. Dan ini dimamfaatkan oleh Belanda saat itu untuk menjatuhkan Kesultanan Gowa (Makassar).
Suku Makassar sendiri terdiri dari beberapa sub suku yang tersebar luas di selatan pulau Sulawesi, tersebar dari Kota Makassar, Kabupaten Gowa, Takalar, Je’neponto, Bantaeng, Bulukumba, Selayar, Maros, dan Pangkep. Sub suku itu seperti, suku Makassar Lakiung, Turatea (Suku Je’neponto dan Bantaeng), Suku Konjo (Bulukumba dan Sebagian Maros), dan Suku Selayar. Sub suku ini memiliki dialek bahasa yang berbeda-beda, tetapi masih dalam rumpun bahasa Makassar. Di perkirakan jumlah populasi orang suku Makassar sekitar 1,8 juta jiwa.
Sejak dulu, Suku Makassar adalah pelaut ulung. Bahkan karena kekuatan lautnya, sehingga mampu menyatukan daerah-daerah yang luas seperti Sulawesi, Kalimantan, Nusatenggara, Timur Leste dan Maluku kedalam satu kekuasaan Kesultanan Goa (Makassar). Orang Makassar adalah orang yang pantang menyerah. Walaupun, pada pertempuran melawan Belanda, mereka kalah, tetapi sebagian besar pejuang-pejuang Makassar tidak menerima kekelahan tersebut. Mereka menyebar ke pulau Jawa, Kalimantan dan Sumatera. Mereka itu seperti Karaeng Galesong, yang Hijrah ke tanah Jawa dan kerap mengganggu armada Belanda di laut hingga dia di juluki oleh Spielman “Bajak Laut”. Selain itu ada nama ulama besar saat itu yang mengabdi untuk kerajaan Banten melawan Belanda, Syekh Yusuf al-Maqassary. Bahkan Syekh Yusuf lebih di kenal di Afrika Selatan sebagai penyebar agama Islam, setelah dibuang Belanda kesana. Hingga saat ini, namanya masih diabadikan menjadi sebuang nama kampung di Afrika Selatan “Kampung Makassar”.
Masih banyak sisi-sisi keunikan dari suku Makassar yang belum sempat diulas, seperti keunikan sisi kulinernya (pisang ijo, pisang efek, pallu butung, pallu basa, pallu konro, kacipo, dumpi eja, dan lain-lain) dari segi pemadangan alam pantai yang terkenal (Pantai Losari, tanjung Bayam, tanjung Bunga, Pasir putih/pantai Bira di Bulukumba dan lain-lain). Selain itu, masih banyak peninggalan budaya, teknologi dan bangunan kuno seperti benteng, istana, tarian, kesenian daerah, perahu kora-kora, perahu pinisi dan lain-lain. Kita akan membahasnya dilain waktu.


 http://pendidikan-kita-semua.blogspot.com/


BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Dari makalah ini kita bisa mengetahui bahwa kebudayaan di Indonesia sangat banyak, diantaranya kebudayaan suku Dayak, kebudayaan suku Dani, kebudayaan suku Makassar, dan kebudayaan suku Asmat. Kebudayaan-kebudayaan tersebut memiliki cirri khas tersendiri. Itulah bukti bahwa Indonesia kaya akan budaya.

B.       Saran
  Kita harus bangga dengan kebudayaan yang telah kita miliki, selalu menjaga kelestarian kebudayaan kita, agar tidak di rebut oleh Negara lain meskipun kebudayaan kita berbeda-beda tapi kita harus saling menghargai kebudayaan yang lain.