MACAM-MACAM
WAYANG
Ada
bermacam-macam wayang yang dapat dijumpai di Jawa. Wayang tersebut terdiri dari
bermacam-macam bahan pula. Beberapa jenis wayang tersebut dapat disebutkan
sebagai berikut :
1.
Wayang Madya
Wayang Madya adalah wayang yang diciptakan oleh K.G, Mangkunegara
IV pada abad 18. Wayang ini merupakan perpaduan dari Wayang Purwa dengan Wayang Gedog.Sumber ceritanya diambil
dari cerita pandawa setelah perang Bharatayuda, misalnya Prabu Parikesit.
Sekarang ini Wayang Madya jarang ditampilkan karena masyarakat sendiri telah
mendarah daging pada Wayang Purwa (kulit)
MADYA, WAYANG, adalah salah satu jenis seni pertunjukan wayang di
Indonesia khususnya di Jawa. Bentuk figurnya merupakan perpaduan antara Wayang
Purwa dan Wayang Gedog yakni bagian bawahnya meniru Wayang Gedog (berkain
rapekan dan memakai keris).
Wayang Madya diciptakan oleh K.G.P.A.A. Mangkunegara IV di Surakarta
pada tahun 1870 – 1873 M, karena beliau tertarik dari isi buku Pustaka Raja
Madya karangan R. Ng. Ranggawarsita. Mangku-negara ke IV berkeinginan membuat
tokoh yang baru untuk mewujudkan isi cerita tersebut dan setelah jadi disebut
Wayang Madya.
Dalam manuskrip Wiwit Jawa Ringgit Madya dijelaskan sebagai berikut:
“Miturut ungeling Serat Pakem Madya, pemut nalika Panjenengan dalem
Kanjeng Gusti Pangeran AdipatiArya Mangkunegara IV karsa amurwani iyasa ringgit
madya, anuju ing dinten Senen Legi, tanggal kaping sanga, wulan Ramelan tahun
Je, ga (1) la (7) ya (9) pa (8), sinengkalan Ngesti Trus Carita Buda. Dumugi
mbabar sarta lajeng kagiyaraken wonten tanggal kaping 2, wulan Rabyangulakir,
warsa Wawu angka ga (1) pa (8) o (0) ga (1), sinengkalan Iku Kombul
Pangesthining Bala).
(Menurut catatan Serat Pakem Madya, pada waktu K.G.P.A.A. Mangkunegara
IV berkeinginan membuat Wayang Madya, pada waktu itu jatuh hari Senin Legi,
tanggal sembilan, bulan Ramelan tahun Je, 1798 Jawa, dengan candrasengkala
Ngesti Trus Carita Buda. Setelah selesai pembuatannya kemudian di pentaskan
pada tanggal dua bulan Rabingulakir, tahun Wawu, tahun 1801 Jawa, dengan candra
sengkala: Iku Kombul Pangesthining Bala).
Dengan munculnya Wayang Madya itu maka ada penghubung antara Wayang
Kulit Purwa dengan Wayang Gedog, karena Wayang Madya itu me-nampilkan lakon
dari Parikesit Grogol sampai dengan meninggalnya Prabu Daneswara di Mendang
Ka-mulyan. Dengan demikian ada mata rantai yang meng-hubungkan mitos raja-raja
Jawa dengan para pahlawan dalam epos Ramayana dan Mahabarata.
Selanjutnya Mangkunegara IV tahun 1880 me-nyusun lakon-lakon Wayang
Madya dalam bentuk balungan lakon dan disertai gending untuk iringannya.
Lakon-lakon yang disusun itu antara lain: Lakon Babad Mamenang, Pelem
Ciptarasa, Narayana Wahya, Kijing Nirmala, Haji Darma, Mayangkara, Singawulung,
Merusupadma, Kitiran Mancawarna, Narasingamurti dan sebagainya.
Pakeliran Wayang Madya diiringi dengan gamelan laras slendro dengan
gending-gending yang disusun Mangkunegara IV sendiri. Gending-gending Wayang
Madya itu antara lain: gending Kepiswara untuk ade-gan jejer pertama, gending
Padmiswara untuk adegan kedatonan, gending Pancaniti untuk adegan Paseban Jawi,
gending Runggingcala untuk adegan sabrang raksasa dan sebagainya.
Setelah pada pemerintahan Paku Buwana X (1893-1939) diadakan beberapa
perubahan dalam Wayang Madya.
Perubahan yang mencolok antara lain tokoh panakawan yang semula
berpasangan seperti: Jumput dan Cleput, Bados dan Badagos, Capa dan Capi, Dudul
dan Dulit, Cabaya dan Satuna, semua itu panakawan kanan. Maka sejak Paku Buwana
X, panakawan ter-sebut di atas diganti dengan panakawan Wayang Purwa yakni:
Semar, Gareng dan Petruk. Sedangkan panakawan kiri yang semula bernama
Wrekangsa dan Wrekasa, diganti dengan Togog dan Bilung. Demikian pula
iringannya diganti gamelan pelog dengan gending-gending Wayang Purwa yang
dimainkan dalam laras pelog seperti gending Karawitan, Titipati, Kedhaton
Bentar, Gandakusuma yang berlaras pelog.
Wayang Madya dewasa ini tidak berkembang dan kurang populer karena
masyarakat telah mendarah daging terhadap Wayang Purwa. Faktor yang lain Wayang
Madya jarang dipentaskan di luar tembok keraton, sehingga masyarakat kurang
akrab terhadap genealogi Wayang Madya. Walaupun Wayang Madya tidak populer
namun kira-kira tahun 1950-1960 dalang-dalang dari Klaten sering mementaskan
lakon Wayang Madya dengan menggunakan Wayang Purwa.
2.
Wayang Klitik
Wayang Klitik adalah wayang yang terbuat dari kayu. Berbeda dengan
wayang golek yang mirip dengan boneka, wayang klitik berbentuk pipih seperti
wayang kulit. Carita yang ditampilkan pada pagelaran wayang klitik diambil dari
siklus cerita Panji dan Damarwulan. Wayang Klitik tidak ditancapkan pada pelepah
pisang, melainkan menggunakan kayu yang sudah diberikan lubang-lubang.
3. Wayang Gedog
Wayang diciptakan oleh Sunan Giri pada tahun 1485. Wayang ini
menceritakan Panji, yang menceritakan latar belakang raja-raja kerajaan Jenggala, Kediri, dan Singasari. Bentuk wayang gedog mirip dengan wayang purwa, tetapi tokoh-tokoh
rajanya tidak digunakan gelung supit urang dan tokoh
raksasa ataupun kera.
4.
Wayang Orang
Wayang Orang adalah cerita wayang purwa yang dipentaskan langsung
oleh orang atau manusia dengan busana seperti wayang. Sumbernya pun sama dengan
wayang purwa. Wayang orang diciptakan oleh Sultan Hamangkurat I pada tahun
1731. Di Jawa pagelaran ini disebut dengan Wayang Wong (Orang). Dalam pertunjukan Wayang Orang, fungsi dalang yang merupakan sutradara tidak
seluas seperti Wayang Kulit, dalang hanya bertindak sebagai perpindahan adegan.
"Pertunjukan
wayang orang lebih ekspresif dan nyaman, Daripada nonton bioskop mahal, lebih
baik wayang orang. Cukup Rp 10.000 sudah bisa dapat kursi VIP," kata
Bayun. Apakah minat pemuda seperti Bayun ini membuktikan bahwa wayang orang
masih mendapat tempat di hati warga? Agus Prasetyo, kordinator pertunjukan
wayang orang Sriwedari, menyebut minat warga untuk menyaksikan pagelaran wayang
orang semakin meningkat. Buktinya, Agus melanjutkan, setiap pagelaran jumlah
penonton cukup banyak. Dan bahkan pada Sabtu malam penonton biasanya memenuhi
gedung berkapasitas 600 orang itu. "Jika tidak melakukan booking, biasanya
kehabisan (kursi)," ujar pria yang juga kerap berperan sebagai Kresna.
Agus melanjutkan, peminat kesenian wayang orang kini semakin meningkat. Bahkan
tak sedikit anak muda hingga anak-anak yang meluangkan waktu untuk menonton.
"Turis asing juga ikut antusias. Biasanya mereka malah lebih menghayati
saat menonton pertunjukan ini," tambah pria bertubuh tinggi itu. Namun,
kata Agus, cuaca juga berpengaruh terhadap jumlah penonton. Jika hujan lebat
mengguyur biasanya tak banyak yang datang ke gedung pertunjukan. Meski minat
warga meningkat, bukan berarti perkembangan wayang orang Sriwedari berjalan
tanpa halangan. Budaya modern yang mulai menyerbu sejak 1980-an, menurut Agus,
membuat kesenian wayang orang sempat terpuruk. "Tahun 50-an sampai akhir
70-an pertunjukan seni tradisional mengalami masa keemasan. Namun karena adanya
berbagai faktor yang mempengaruhi kondisi pertunjukan tradisonal, sekitar tahun
80-an, pertunjukan seni tradisional mengalami masa surut," kata dia.
Kemunculan stasiun televisi swasta dan menjamurnya kebudayaan pop, tambah Agus,
adalah faktor utama yang menggerus eksistensi kebudayaan tradisional.
"Penonton turun drastis sampai awal tahun 2000-an. Kita sering pentas hanya
ditonton satu orang saja. Kadang-kadang malah cuma ditonton oleh kursi,"
tambahnya.
5.
Wayang Golek
Asal mula wayang golek tidak diketahui secara jelas karena tidak
ada keterangan lengkap, baik tertulis maupun lisan. Kehadiran wayang golek
tidak dapat dipisahkan dari wayang kulit karena wayang golek merupakan
perkembangan dari wayang kulit. Namun demikian, Salmun (1986) menyebutkan bahwa
pada tahun 1583 Masehi Sunan Kudus membuat wayang dari kayu yang kemudian
disebut wayang golek yang dapat dipentaskan pada siang hari. Sejalan dengan itu
Ismunandar (1988) menyebutkan bahwa pada awal abad ke-16 Sunan Kudus membuat
bangun 'wayang purwo' sejumlah 70 buah dengan cerita Menak yang diiringi
gamelan Salendro. Pertunjukkannya dilakukan pada siang hari. Wayang ini tidak memerlukan
kelir. Bentuknya menyerupai boneka yang terbuat dari kayu (bukan dari kulit
sebagaimana halnya wayang kulit). Jadi, seperti golek. Oleh karena itu, disebut
sebagai wayang golek.
Pada mulanya yang dilakonkan dalam wayang golek adalah ceritera
panji dan wayangnya disebut wayang golek menak. Konon, wayang golek ini baru
ada sejak masa Panembahan Ratu (cicit Sunan Gunung Jati (1540-1650)). Di sana
(di daerah Cirebon) disebut sebagai wayang golek papak atau wayang cepak karena
bentuk kepalanya datar. Pada zaman Pangeran Girilaya (1650-1662) wayang cepak
dilengkapi dengan cerita yang diambil dari babad dan sejarah tanah Jawa.
Lakon-lakon yang dibawakan waktu itu berkisar pada penyebaran agama Islam.
Selanjutnya, wayang golek dengan lakon Ramayana dan Mahabarata (wayang golek
purwa) yang lahir pada 1840 (Somantri, 1988).
Kelahiran wayang golek diprakarsai oleh Dalem Karang Anyar
(Wiranata Koesoemah III) pada masa akhir jabatannya. Waktu itu Dalem
memerintahkan Ki Darman (penyungging wayang kulit asal Tegal) yang tinggal di
Cibiru, Ujung Berung, untuk membuat wayang dari kayu. Bentuk wayang yang
dibuatnya semula berbentuk gepeng dan berpola pada wayang kulit. Namun, pada
perkembangan selanjutnya, atas anjuran Dalem, Ki Darman membuat wayang golek
yang membulat tidak jauh berbeda dengan wayang golek sekarang. Di daerah
Priangan sendiri dikenal pada awal abad ke-19. Perkenalan masyarakat Sunda
dengan wayang golek dimungkinkan sejak dibukanya jalan raya Daendels yang
menghubungkan daerah pantai dengan Priangan yang bergunung-gunung. Semula
wayang golek di Priangan menggunakan bahasa Jawa. Namun, setelah orang Sunda
pandai mendalang, maka bahasa yang digunakan adalah bahasa Sunda.
Wayang Golek adalah wayang yang terbuat dari boneka kayu,
kebanyakan berpakian jubah (baju panjang) tanpa digeraikan secara bebas dan
terbuat dari kayu yang berbentuk bulat seperti lazimnya boneka. Sumber
ceritanya diambil dari sejarah, misalnya cerita Untung Surapati, Batavia,
Sultan Agung, dan lain-lain. Wayang golek tidak menggunakan kelir seperti pada wayang kulit.
Wayang ini sangat populer di tataran tanah sunda,
yaitu Jawa Barat.
6. Wayang Beber
Wayang beber adalah wayang berbentuk lembaran-lembaran (beberan)
yang terbuat dari kain atau kulit lembu, dan dibentuk menjadi tokoh-tokoh wayang.
Tiap beberan merupakan satu adegan cerita. Jika tidak dimainkan, wayang bisa
digulung. Wayang ini dibuat pada zaman kerajaan Majapahit. Namun, konon para Wali Songo memodifikasi wayang ini yang digunakan untuk menyebarkan agama islam dengan diubah menjadi wayang kulit, hal ini dikarenakan dalam
ajawan islam mengharamkan bentuk gambar dan patung.
7. Wayang Purwa
Wayang Purwa atau juga disebut wayang kulit karena terbuat dari
kulit lembu. Wayang kulit dimainkan oleh dalang dibalik kelir, yaitu layar yang terbuat dari
kain putih sementara belakangnya disorotkan lampu listrik atau lampu minyak.
Sehingga penonton hanya dapat melihat bayangan wayang yang jatuh ke kelir.
Secara umum, wayang mengambil cerita dari naskah Mahabharata dan Ramayana. Dalam
wayang purwa berdasarkan ukurannya dari yang paling kecil sampai besar
dibedakan menjadi Wayang Kaper, Wayang Kidang Kencanan, Wayang Pedalangan, dan
Wayang Ageng.
a. Wayang Rontal (939) :
b. Wayang Kertas (1244)
c. Wayang Beber Purwa (1361)
d. Wayang Demak (1478)
e. Wayang Keling (1518)
f. Wayang Jengglong
g. Wayang Kidang Kencana (1556)
h. Wayang Purwa Gedog (1583)
i. Wayang (Kulit Purwa) Cirebon
j. Wayang (Kulit Purwa) Jawa Timur
k. Wayang Golek (1646)
l. Wayang Krucil atau Wayang Klithik (1648)
m. Wayang Sabrangan (1704)
n. Wayang Rama (1788)
o. Wayang Kaper
p. Wayang Tasripin
q. Wayang Kulit Betawi atau Wayang Tambun
r. Wayang Golek Purwa
s. Wayang Ukur
t. Wayang Dolanan (Mainan)
u. Wayang Batu atau Wayang Candi (856)
v. Wayang Sandosa
w. Wayang Wong (Orang) (1757-1760)
7. Wayang Suluh
Pementasan wayang ini tergolong wayang modern, karena biasanya
untuk penerangan masyarakat. Wayang ini terbuat dari kulit yang diberi pakaian
lengkap lazimnya manusia. Semetara ceritanya diambil dari kisah perjuangan
bangsa Indonesia melawan penjajah. Wayang ini diciptakan oleh seorang
budayawan asal Surakarta R. M Sutarto Harjowahono pada taun 1920
Sebenarnya masih banyak lagi jenis wayang yang lainnya seperti:
Wayang Titi, Wayang Wahyu, Wayang Suket, Wayang Pancasila, dan masih banyak
lagi wayang yang menurut asal daerahnya.
Dengan begitu kita sebagai generasi muda untuk terus dilestarikan agar seni PagelaranWayang ini akan terus bisa kita lihat
sampai anak cucu kita.